Dalam kehidupan di dunia ini
terdapat ungkapan “Tiada hari tanpa bahasa dan tiada kehidupan tanpa bahasa”.
Bahasa merupakan sarana komunikasi utama dalam kehidupan manusia di dunia ini
baik dalam bentuk tulisan, lisan, maupun yang hanya berupa simbol-simbol
tertentu. Tanpa bahasa manusia tidak dapat berkomunikasi karena manusia adalah
makhluk sosial yang mau tidak mau harus berinteraksi dengan manusia lain. Di
dalam interaksi pasti ada komunikasi dan di dalam komunikasi itu pasti ada
bahasa. Berbeda dengan hewan yang menggunakan insting dalam berkomunikasi
dengan hewan lain. Secara umum bahasa yang digunakan manusia di belahan dunia
mana pun adalah sama karena bahasa itu universal. Perbedaan terletak pada
variasi bahasanya, misalnya orang di negara Inggris untuk berkomunikasi
menggunakan bahasa Inggris, orang di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia,
orang di Perancis menggunakan bahasa Perancis, dan sebagainya.
Makalah ini mengkaji tentang
pemerolehan bahasa pada manusia. Bahasa manusia diperoleh sejak manusia dalam
kandungan, tapi dalam makalah ini hanya mengkaji pemerolehan bahasa ketika
sudah lahir.
Chaer (2009) menyatakan bahwa
pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam
otak seorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa
ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa
berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak
mempelajari bahasa kedua, setelah ia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi,
pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa yang pertama, sedangkan pembelajaran
bahasa berkenaan dengan bahasa kedua.
Woozley dalam jurnal internasional yang berjudul Second Language Acquisition and the Communicative Approach
menyatakan bahwa,
“learning a language was seen as a
process of habit formation resulting from input and positive reinforcement of
correct habits, negative reinforcement of mistakes. The learner was a blank
canvas who learned a language as a set of habits through imitation. Mistakes
were seen as unwanted interference from the habits acquired with the learner’s
first language”.
Artinya bahwa belajar bahasa
merupakan proses pembentukan kebiasaan yang dihasilkan dari input dan kebiasaan
penguatan positif dari yang benar dan penguatan negatif dari kesalahan.
Anak adalah sebuah kanvas kosong dalam belajar bahasa sebagai seperangkat kebiasaan
melalui tiruan. Kesalahan dipandang sebagai gangguan yang tidak diinginkan dari
kebiasaan yang ada dalam bahasa pertama anak.
Istilah pemerolehan (acquisition) berarti proses penguasaan
bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu ia belajar bahasa
ibunya (native language). Istilah ini
berbeda dengan pembelajaran (learning),
yakni proses yang dilakukan dalam tataran yang formal (belajar di kelas dan
diajar oleh seorang guru). Dengan demikian, proses dari anak yang belajar
menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan proses dari orang
(umumnya dewasa) yang belajar di kelas adalah pembelajaran (Dardjowidjojo
2010).
Berdasarkan pendapat-pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa pemerolehan bahasa (language acquisition) merupakan proses ketika anak memperoleh
bahasa pertamanya, sedangkan pembelajaran bahasa (language learning) merupakan proses ketika anak memperoleh bahasa
kedua.
Umumnya manusia dapat mempersepsi
dan kemudian memahami ujaran orang lain merupakan unsur pertama yang harus
dikuasai manusia dalam berbahasa. Manusia hanya dapat memproduksi ujaran
apabila dia mengetahui aturan-aturan yang harus diikuti yang dia peroleh sejak
kecil. Pemerolehan bahasa pada umur dewasa memunculkan wujud bahasa yang
berbeda daripada pemerolehan bahasa sejak anak masih kecil berkaitan erat
dengan struktur serta organisasi otak manusia.
Penelitian Dardjowidjodjo (2010) merupakan rujukan utama makalah ini. Dalam
penelitian tersebut peneliti meneliti perkembangan atau pemerolehan bahasa
cucunya. Berdasarkan penelitian tersebut maka terlahir teori-teori yang menjadi
acuan psikolinguistik saat ini.
B. Pemerolehan
Bahasa
1. Sejarah
Kajian Pemerolehan Bahasa
Pada abad ke tujuh SM konon raja
Mesir, Psammetichus I ingin mengetahui bahasa yang keluar dari anak-anaknya
dengan cara mengisolasinya. Pada 1877 Charles Darwin mencatat perkembangan
bahasa anak lelakinya dengan catatan buku harian. Selanjutnya Ingram (1989)
membagi perkembangan studi tentang pemerolehan bahasa menjadi tiga tahab, yaitu
sebagai berikut.
a. Periode Buku
Harian (1876-1926)
Pada masa ini kajian pemerolehan
bahasa anak dilakukan dengan peneliti mencatat apapun yang diujarkan oleh anak
dalam suatu buku harian. Data dalam buku harian ini kemudian dianalisis untuk
disimpulkan hasilnya.
b. Periode
Sampel Besar (1926-1987)
Periode ini berkaitan dengan
munculnya aliran baru dalam ilmu jiwa, yaitu behavioristik yang menekankan
peran lingkungan dalam pemerolehan pengetahuan termasuk pengetahuan bahasa.
Untuk mendapatkan hasil yang sahih dan akurat diperukan sampel yang besar.
c. Periode
Kajian Longitudinal (1957)
Munculnya buku Chomsky Syntactic Structures (1957) merupakan titik awal tumbuhnya
aliran mentalisme atau nativisme pada ilmu linguistik. Berlawanan dengan
behaviorisme, aliran ini menandaskan adanya bekal kodrati yang dibawa pada
waktu anak dilahirkan. Bekal inilah yang membuat anak di mana pun juga memakai
strategi yang sama dalam memperoleh bahasanya. Ciri utama periode ini adalah
bahwa studi longitudinal memerlukan jangka waktu yang panjang karena yang
diteliti adalah perkembangan sesuatu yang sedang dikaji dari satu waktu sampai
ke waktu yang lain.
2. Metode dan
Desain Penelitian dalam Pemerolehan Bahasa
Metode penelitian yang digunakan
dalam pemerolehan menurut Dardjowidjojo (2010) sebagai berikut.
a. Catatan
Harian
Metode ini dilakukan dengan cara
mencatat apapun yang diujarkan oleh anak dalam suatu buku harian. Data dalam
buku harian ini kemudian dianalisis untuk disimpulkan hasilnya.
b. Observasi
(Natural dan Terkontrol)
Metode ini berupa pengamatan
lapangan oleh peneliti. Peneliti seperti Brown (1973) meneliti untuk mengetahui
bagaimana sistem gramatikal anaknya berkembang. Dardjowidjojo (2000) menegikuti
perkembangan cucunya dari lahir hingga umur lima tahun. Dalam bidang fonologi
Yulianto (2001) melakukan kajian bagaimana anak memperoleh fonologi bahasa
Indonesia dari umur 1;0-2;6. Data rekaman untuk berbagai bahasa di dunia
dikumpukan pada tahun 1985 dalam koleksi CHILDES (Child Language Exchange Data System).
c. Wawancara
Metode ini berguna untuk mengecek atau mengecek ulang
sesuatu yang ingin diketahui oleh peneliti.
d. Eksperimen
(Eksperimental dan Terkontrol)
Metode ini dipakai peneliti untuk mengetahui jawaban
terhadap suatu masalah. Dalam hal ini peneliti memilih topik yang akan
diteliti.
Selanjutnya desain penelitian yang
digunakan dalam pemerolehan bahasa dapat Longitudinal (jangka waktu yang
panjang) atua Cross-sectional (waktunya adalah suatu titik waktu tertentu,
subjeknya biasanya lebih dari satu orang, dan topiknya telah ditentukan
terlebih dahulu). Keduanya bersifat observasional
ataupun eksperimental.
Pada tipe observasional dan natural,
peneliti tidak mengadakan interferensi apapun. Anak dibiarkan berbahasa secara
natural di tempat yang tidak khusus disediakan. Pada tipe observasional terkontrol
tempat penelitian sudah diatur terlebih dahulu oleh peneliti. Sedangkan pada
tipe eksperimental
peneliti mengadakan interferensi untuk mengetahui apakah suatu keadaan tertentu
akan memunculkan hasil yang diramalkan. Dalam tipe ini ada dua kelompok, yaitu kelompok
eksperimental (kelompok yang sedang diteliti sehingga mendapat
perlakukan khusus) dan kelompok kontrol (kelompok biasa
yang digunakan sebagai pembanding)
3. Hipotesis
Pemerolehan Bahasa
Sayekti (2001) dalam jurnal ilmiah
berjudul Pemerolehan Bahasa pada Anak
Balita meneliti tentang proses belajar bahasa pertama pada anak balita.
Proses tersebut berlangsung secara efektif pada usia di bawah lima tahun
(balita). Proses itu secara bertahap terus berlanjut mengikuti perkembangan
usia dan pengalamannya. Potensi belajar bahasa pada anak balita tinggi, sehingga
potensi itu perlu dioptimalkan, mengingat penguasaan bahasa sangat berpengaruh
kepada proses penguasaan yang lain ketika anak memasuki usia sekolah. Jadi,
dapat dikatakan bahwa usia balita adalah usia emas dalam pemerolehan bahasa,
sehingga pada masa ini harus benar-benar dioptimalkan agar pemerolehan bahasa
anak dapat maksimal.
Ada dua proses yang terjadi pada
proses pemerolehan bahasa pertama pada anak, yaitu proses kompetensi dan proses
performansi. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung
secara tidak disadari. Proses ini menjadi syarat untuk terjadinya proses
performansi yang terdiri dari dua buah proses, yaitu proses pemahaman dan
proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat yang didengar.
Sedangkan penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan
kalimat-kalimat sendiri. Kedua jenis proses kompetensi ini apabila telah
dikuasai anak akan menjadi kemampuan linguistik anak tersebut (Chaer 2009:167).
Jadi, kemampuan linguistik terdiri dari kemampuan memahami dan kemampuan
melahirkan atau menerbitkan kalimat-kalimat baru yang dalam linguistik
transformasi generatif disebut perlakuan atau pelaksanaan bahasa, atau
performansi.
Beberapa teori atau hipotesis yang
berkaitan dengan masalah pemerolehan bahasa dapat diuraikan berikut ini.
a. Hipotesis
Nurani
Dalam pemerolehan bahasa yang
diperoleh anak adalah kompetensi dan performansi bahasa pertamanya itu.
Kemudian karena tatabahasa terdiri dari komponen sintaksis, semantik, dan
fonologi, dan disetiap komponen itu berupa rumus-rumus (kaidah-kaidah) maka
ketiga macam rumus inilah yang terlebih dahulu dikuasai anak dalam pemerolehan
bahasa. Menurut Chomsky alat yang digunakan anak untuk memperoleh kemampuan
berbahasa adalah hipotesis nurani (bahasa Inggris innate = dibawa sejak lahir, berada di dalam, atau semula jadi).
Hipotesis ini terlahir dari beberapa pengamatan yang dilakukan para pakar
terhadap pemerolehan bahasa anak. Simpulan pengamatan tersebut yaitu manusia
lahir dengan dilengkapi oleh suatu alat yang memungkinkan dapat berbahasa
dengan mudah dan cepat.
Ada dua macam hipotesis nurani,
yaitu hipotesis nurani bahasa dan hipotesis nurani mekanisme (Simanjuntak dalam
Chaer, 2009:169). Hipotesis nurani bahasa merupakan satu asumsi yang menyatakan
bahwa sebagian atau semua bagian dari bahasa tidak dipelajari atau diperoleh,
tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus dari organism manusia.
Sedangkan hipotesis nurani mekanisme menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa
oleh manusia ditentukan oleh perkembangan kognitif umum dan mekanisme nurani
umum yang berinteraksi dengan pengalaman. Maka beda kedua hipotesis ini adalah
bahwa hipotesis nurani bahasa menekankan terdapatnya sesuatu “benda” nurani
yang dibawa sejak lahir yang khusus untuk bahasa dan berbahasa. Sedangkan
hipotesis nurani mekanisme terdapatnya suatu “benda” nurani berbentuk mekanisme
yang umum untuk semua kemampuan manusia.
b. Hipotesis
Tabularasa
Secara harfiah tabularasa berarti “kertas kosong”, dalam arti belum diisi apa-apa.
Jadi, hipotesis tabularasa menyatakan
bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas kosong yang nanti
akan ditulis atau diisi dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis ini awalnya
dikemukakan oleh John Locke seorang tokoh empiris. Menurut hipotesis tabularasa semua pengetahuan dalam
bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan hasil dari
integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia
itu. Sejalan dengan hipotesis ini, behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan
linguistik terdiri hanya dari rangkaian hubungan-hubungan yang dibentuk dengan
cara pembelajaran S-R (Stimulus-Respons). Cara pembelajaran yang dikenal adalah
pelaziman klasik, pelaziman operan, dan
mediasi atau penengah yang telah dimodifikasi menjadi teori-teori
pembelajaran bahasa.
Teori pembelajaran bahasa pelaziman operan menyatakan bahwa
perilaku bahasa seseorang dibentuk oleh serentetan ganjaran yang beragam-ragam
yang muncul di sekitar orang itu. Sedangkan teori
mediasi atau penengah yang
diperkenalkankan oleh Jenkin disebut “rantai respons” (response chaining). Teori rantai respons ini didasarkan pada
prinsip mediasi atau pertengahan bahasa.
c. Hipotesis
Kesemestaan Kognitif
Hipotesis kesemestaan kognitif diperkenalkan
oleh Piaget. Menurutnya bahasa merupakan satu bagian dari perkembangan kognitif
(intelek) secara umum. Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif,
bahasa diperoleh berdasarkan struktur-struktur kognitif deriamotor.
Struktur-struktur ini diperoleh anak-anak melalui interaksi dengan benda-benda
atau orang-orang di sekitarnya. Menurut Sinclair-de Zwart (dalam Chaer
2009:179) ada tiga tahap pemerolehan bahasa anak-anak. Pertama, anak-anak memilih satu gabungan bunyi pendek dari
bunyi-bunyi yang didengarnya untuk menyampaikan satu pola aksi. Kedua, jika gabungan bunyi-bunyi pendek
ini dipahami maka anak-anak itu akan memakai seri bunyi yang sama, tetapi
dengan bentuk fonetik yang lebih dekat dengan fonetik orang dewasa, untuk
menyampaikan pola-pola aksi yang sama, atau apabila pola aksi yang sama
dilakukan oleh orang lain. Pola aksi ini pada mulanya selalu mempunyai hubungan
dengan anak-anak itu, dan di dalam pola aksi itu selalu terjalin unsur, yaitu agen, aksi, dan penderita. Ketiga, muncul fungsi-fungsi tatabahasa yang pertama,
yaitu subjek-predikat yang
menghasilkan unsure Subjek – Verbal –
Objek atau Agen + Aksi + Penderita.
Hipotesis kesemestaan kognitif sama
dengan hipotesis nurani mekanisme dalam linguistik. Piaget dan Mc. Namara menyimpulkan
bahwa anak-anak lebih dahulu mengembangkan proses-proses kognitif yang bukan
linguistik. Setelah itu barulah mereka memperoleh lambang-lambang linguistik
itu. Jadi, pemerolehan bahasa bergantung pada pemerolehan proses-proses
kognitif itu.
C. Teori-Teori
Pemerolehan Bahasa
Ada dua aliran yang saling bertolak
belakang, yaitu aliran behaviorisme dan aliran mentalisme. Teori behavioristik
hanya mengambil kelakuan yang dapat diamati sebagai titik tolak untuk deskripsi
dan penjelasannya. Sedangkan teori mentalistik mengambil struktur dan cara
kesadaran sebagai dasarnya. Dalam proses pemerolehan bahasa, aliran
behavioristik terutama mendasari teori belajar yang mementingkan lingkungan
verbal dan nonverbal, sedangkan aliran mentalistik mendasari teori belajar yang
menekankan adanya kemampuan lahiriah pada seorang anak untuk belajar suatu
bahasa. Oleh karena itu, para behavioris lebih menyukai istilah belajar bahasa
(language learning) dan para mentalis
lebih menyukai istilah pemerolehan bahasa (language
acquisition).
1. Pendirian
Behavioristik mengenai Pemerolehan Bahasa
Teori belajar behavioristik
menyediakan deskripsi dan menjelaskan kelakuan (bahasa) dengan bantuan model
S-R. Pada teori ini ada hubungan antara suatu stimulus atau situasi stimulus
(S) dari luar atau dalam organismenya dan suatu reaksi (R) dari organisme
tersebut. Dalam pendirian behavioristik hanya ada kepastian jika S dan R dapat
diamati. Pendapat ilmiah harus diutamakan dan sebagai dan didasarkan atas
kelakuan yang bisa diamati. Teori behavioristik menjelaskan kelakuan belajar
semua makhluk hidup, tidak ada tempat untuk pengertian mentalistik, seperti
kesadaran, rencana, maksud, dan konsep. Analisis kelakuan behavioristik
didasarkan atas aksioma-aksioma, yaitu: 1) semua kelakuan merupakan akibat
rangsangan faktor-faktor lingkungan dan 2) kelakuan dapat diubah sesuai dengan
perubahan lingkungan.
a. Model S-R
Skinner
Skiner membawa pengaruh besar pada
psikolinguistik behavioristik di AS pada tahun 1950-an. Skiner mencoba membuat
analisis mengenai kelakuan bahasa dengan cara meneliti variabel-variabel yang
menentukan kelakuan itu. Variabel-variabel tersebut dilakukan sebagai S dan R.
Setiap ujaran bahasa menyusul suatu S yang verbal atau nonverbal: dalam hal
yang terakhir ada suatu stimulus yang mengakibatkan seseorang menghasilkan
suatu ujaran tertentu. Skiner hanya mau memperhitungkan kelakuan yang bisa
diamati – hubungan antara stimuli yang dapat diukur secara objektif dan
reaksi-reaksi yang dapat diukur secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang tidak dapat diukur dalam organismenya sendiri.
Data Skiner adalah ujaran-ujaran
bahasa manusia dan kondisi tempat ujaran itu dihasilkan sangatlah penting.
Belajar suatu bahasa berlangsung di bawah suatu kondisi tersebut. Selama
individu-individu mengalami kondisi yang sama, mereka juga akan belajar dengan
cara yang sama. Perbedaan dalam kemampuan belajar disebabkan oleh perbedaan
dalam pengalaman belajar; makin luas pengalaman tersebut makin besar kemahiran
dalam penggunaan bahasa. Dengan demikian, kemahiran bahasa dicapai melalui
latihan dan pengalaman. Pengalaman itu diperoleh melalui produksi dan persepsi
ujaran bahasa. Di samping itu, dibutuhkan pula penguatan (positif) untuk
mencapai tingkat kemahiran yang lebih tinggi. Penghargaan dari pihak orangtua
merupakan bentuk penguatan yang penting pada proses pemerolehan bahasa. Jika
seorang anak bereaksi pada suatu S dengan ujaran yang dipahami oleh
lingkungannya, maka R dari orangtua atas ujaran tersebut berfungsi sebagai penguatan.
Dengan cara demikian, penguatan bahasa yang gramatikal benar dipicu, dan
penggunaan yang tidak gramatikal tidak dihargai. Satu R saja tidak cukup untuk
proses belajar, harus ada pengulangan. Makin banyak pengulangan, makin baik
proses belajar akan berlangsung. Reaksi-reaksi dan pengulangan reaksi mutlak
perlu untuk belajar apa saja.
b. Teori
Chomsky
Ada banyak kritik dan reaksi
terhadap behavioristik Skinner itu (Skinner menulis teorinya dalam Verbal
Behavior yang diterbitkan pada tahun 1957). Kritik pertama, sangat dan mendasar
datang dari Chomsky, yang secara mendalam membahas “Verbal Behavior”. Chomsky
mengatakan bahwa kelakuan manusia jauh lebih rumit daripada kelakuan hewan.
Apalagi kelakuan bahasa, yang begitu khas untuk spesies manusia saja, sehingga
tidak mungkin dijelaskan dengan kelakuan hewan. Menurut Chomsky, deskripsi
mengenai sesuatu yang begitu kompleks seperti kelakuan bahasa manusia tidak
mungkin hanya berupa deskripsi stimuli luar, tetapi deskripsi mengenai
kemampuan lahiriah manusia untuk belajar suatu bahasa.
2. Pendirian
Mentalistik tentang Pemerolehan Bahasa
Teori mentalistik mendeskripsikan,
menjelaskan, dan meramalkan bahwa kelakuan belaar berdasarkan pada struktur dan
cara kesadaran. Akan tetapi, titik awal dalam teori-teori mentalistik lebih
mengarah ke teori bahasa daripada ke teori belajar. Dalam teori
behaviorisme pemerolehan bahasa adalah suatu proses belajar, dalam hal ini
stimuli verbal dan nonverbal dari luar membentuk kondisi untuk proses belajar
itu. Dalam linguistic Chomsky, tekanan pada kemampuan lahiriah seseorang anak
untuk belajar suatu bahasa. Kelakuan bahasa terlalu rumit untuk dapat
dijelaskan semata-mata atas dasar faktor-faktor luar yang mempengaruhi
seseorang.
Menurut Chomsky (dalam Dardjowidjojo
2010:232) manusia mempunyai faculties of
the mind, yaitu semacam “kapling-kapling intelektual” dalam otaknya. Kemampuan
lahiriah (kapling-kapling) yang memungkinkan setiap manusia belajar bahasa
apapun yang disebut Language Acquisition
Device (LAD), yang berarti perlengkapan pemerolehan bahasa atau
diterjemahkan menjadi Piranri Pemerolehan Bahasa (PPB) (Dardjowidjojo 2000:19).
PPB menerima masukan dari lingkungan di sekitarnya dalam bentuk kalimat yang
tidak semuanya apik (well-formed).
Titik tolaknya adalah perbedaan antara Struktur Lahir dan Struktur Batin pada
kalimat. Kedua struktur tersebut saling berhubungan melalui transformasi. Tiap
kalimat mempunyai struktur abstrak di bawah permukannya dan LAD memungkinkan
anak menyusun hipotesis tentang struktur bawah bahasa yang diperolehnya. Anak
tidak sadar dalam proses ini. Hipotesis-hipotesis yang disusun anak tanpa sadar,
kemudian dicoba dalam pemakainnya. Hipotesis-hipotesis itu terus dicoba
kebenarannya pada data yang dikumpulkan anak selama ia mendengar dan
berbicara. Oleh karena itu, hipotesis-hipotesis tersebut diubah dan disesuaikan
secara terstruktur.
Lama-kelamaan melalui proses di atas
berkembanglah sistem kaidah bahasa anak secara sistematis kea rah system kaidah
yang dimiliki orang dewasa. Si anak menangkap sejumlah ujaran yang sebagian
besar tidak gramatikal. Dari korpus yang tidak berstruktur tersebut, yang masuk
sebagai input LAD, dibentuklah
tatabahasa sebagai output.
Input
bahasa
LAD
Output bahasa
(kumpulan
ujaran)
(tata bahasa)
Dengan bantuan LAD, seorang anak
dapat menemukan struktur batin kalimat-kalimat yang dijumpainya dan kemudian ia
dapat membentuk kalimat yang sebelumnya belum pernah dijumpai. Gramatikal yang
dibentuk dengan bantuan LAD itu mengandung sifat-sifat khas suatu bahasa
tertentu, tetapi di atas itu juga mengandung sifat-sifat universal.
D. Universal
Bahasa
Pelopor universal bahasa seperti
Greenberg (dalam Dardjowidjojo 2010:230) meneliti banyak bahasa dan dari
bahasa-bahasa itu ia sarikan fitur-fitur mana yang terdapat pada semua bahasa,
fitur-fitur mana lagi yang terdapat pada kebanyakan bahasa, dan mana yang hanya
pada beberapa bahasa. Dengan demikian, konsep universal bahasa itu tidak
mutlak, tapi relatif.
Comrie (dalam Dardjowidjojo
2010:230) membagi universal bahasa menjadi dua kelompok besar yang
masing-masing mempunyai juga sub-kelompok.
Non-implikasional
Absolut
Implikasional
Universal
Non-implikasional
Tendensius
Implikasional
Bagan: Universal Bahasa
Pada kelompok universal absolut non-implikasional tidak terdapat perkecualian.
Misalnya, bahasa mempunyai bunyi vokal /a/, /i/, dan /u/; bahasa manapun
menggabungkan bunyi untuk membentuk suku kata. Pada kelompok absolut yang
implikasional dikatakan bahwa bila bahasa mempunyai X maka bahasa itu pasti
mempunyai Y. Misalnya, bila suatu bahasa mempunyai konsonan hambat velar /k/,
maka bahasa itu pasti mempunyai konsonan hambat bilabial /b/; bila suatu bahasa
mempunyai bentuk refleks persona pertama/kedua (myself dan yourself),
maka bahasa tadi pasti mempunyai refleks persona ketiga (himself).
Pada kelompok universal tendesius
non-implikasional terdapat kecenderungan besar untuk bahasa memiliki sesuatu
tertentu. Misalnya, hampir semua bahasa memiliki konsonan nasal. Pada kelompok
universal tendesius implikasional suatu bahasa memilki X maka kemungkinan
besarnya adalah bahwa bahasa itu juga memiliki Y. Misalnya, bahasa yang
memiliki urutan SOV (subjek-objek-verba) mungkin sekali memiliki urutan
posisi-posisi (bukan preposisi).
Menurut Chomsky (dalam Dardjowidjojo
2010:232) bila suatu entitas mengandung unsur-unsur hakiki tertentu maka
unsur-unsur itu pasti ada pada entitas itu dimanapun juga. Chomsky membedakan
dua macam universal, yaitu universal subtantif dan universal formal. Universal
subtantif berupa unsur atau elemen yang membentuk bahasa. Misalnya, dalam
bahasa di mana pun juga mempunyai nomina, verba, dan adjektiva. Sedangkan
universal formal berkaitan dengan cara bagaimana universal subtantif itu
diatur. Pengaturan elemen-elemen ini berbeda dari satu bahasa ke bahasa lain.
Pada anak lahir, anak telah
dikarunia Tatabahasa Universal (TU) atau Universal
Grammer (UG). Setiap anak dalam otaknya sudah mempunyai modul atau
seperangkat prinsipel yang terlihat sederhana, tetapi menjadi rumit saat
berinteraksi dengan prinsipel-prinsipel dan modul-modul yang lain.
a. Kontroversi
antara Nurture dengan Nature
Manusia di mana pun juga pasti akan
dapat menguasai atau memperoleh bahasa asalkan dia tumbuh dalam suatu
masyarakat. Pemerolehan bahasa tersebut bersifat nurture atau nature.
Dalam aliran behaviorisme pemerolehan bahasa bersifat nurture, yaitu pemerolehan bahasa itu ditentukan oleh alam
lingkungan. Menurut aliran ini, manusia dilahirkan dengan suatu tabula rasa, yaitu semacam piring kosong
tanpa apa pun. Piring ini kemudian diisi oleh alam sekitar termasuk bahasanya.
Jadi, pengetahuan apa pun yang kemudian diperoleh oleh manusia itu berasal dari
lingkungan.
Dari eksperimen yang dilakukan
Skiner menyimpulkan bahwa pemerolehan pengetahuan termasuk pemerolehan
pemakaian bahasa didasarkan pada adanya stimulus, kemudian diikuti oleh respon.
Bila respon itu benar maka diberi hadiah dan bila salah dihukum. Dari proses
pengulangan ini akan menjadi kebiasaan. Menurut Skiner bahasa merupakan
seperangkat kebiasaan. Kebiasaan diperoleh dengan cara latihan bertubi-tubi
(drills), sehingga sangat penting dalam pengajaran bahasa asing pada metode
seperti Oral Approach atau Audiolingual Approach.
Berbeda dengan Chomsky yang
berpandangan bahwa pemerolehan bahasa itu tidak didasarkan pada nurture atau nature. Anak memperoleh kemampuan berbahasa seperti dia memperoleh
kemampuan berdiri dan berjalan. Anak tidak dilahirkan sebagai piring kosong,
tabula rasa, tetapi dia telah dibekali dengan sebuah alat, yaitu Piranti
Pemerolehan Bahasa (PPB) atau LAD. Piranti ini bersifat universal, artinya anak
mana pun mempunyai piranti ini. Ini terbukti dengan adanya kesamaan antara satu
anak dengan anak yang lain dalam proses pemerolehan bahasa mereka; di mana pun
juga anak melewati seperangkat proses yang sama dalam menguasai bahasa mereka
masing-masing. Nurture yaitu masukan
yang berupa bahasa hanya akan menentukan bahasa mana yang akan diperoleh anak,
tetapi prosesnya itu sendiri bersifat kodratif (innate) dan inner-directed.
Chomsky menganggap Skiner keliru dalam memahami kodrat bahasa. Bahasa bukan
suatu kebiasaan, tetapi suatu sistem yang diatur oleh seperangkat peraturan (rule-governed). Bahasa juga kreatif dan
memiliki ketergantungan struktur. Kedua kodrat bahasa ini hanya dapat dimiliki
manusia. Jadi, baik nature maupun nurture diperlukan untuk memperoleh
bahasa. Nature diperlukan karena
tanpa bekal kodrati makhluk tidak mungkin dapat berbahasa. Nurture juga diperlukan karena tanpa adanya input dari alam
sekitar bekal yang kodrati itu tidak akan terwujud.
E. Universal
dalam Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa seorang anak
berkaitan erat dengan konsep universal. Sejauh mana konsep universal itu
mempengaruhi pemerolehan tergantung pada sifat kodrati komponen bahasa.
a. Universal
pada Komponen Fonologi
Roman Jakobson adalah ahli yang
mengemukakan adanya universal pada bunyi bahasa manusia dan untuk pemerolehan
bunyi-bunyi tersebut. Pemerolehan bunyi berjalan selaras dengan kodrat bunyi
itu sendiri. Bunyi pertama yang keluar waktu anak mulai berbicara adalah
kontras antara konsonan dan vokal. Dalam hal ini bunyi vokal hanya bunyi /a/, /i/,
dan /u/ yang akan keluar terlebih dahulu. Dari ketiga bunyi tersebut, /a/ akan
keluar lebih dahulu daripada /i/ atau /u/ karena lebih mudah diucapkan dan
ketiga bunyi tersebut membentuk Sistem Vokal Minimal (Minimal Vocalic System): bahasa mana pun di dunia pasti memiliki
minimal tiga vocal ini (Jakobson dalam Dardjowidjojo 2010:238). Sedangkan bunyi
konsonan kontras pertama yang muncul adalah oposisi antara bunyi oral dengan
bunyi nasal (/p-b/ dan /m-n/) dan kemudian disusun oleh kontras antara bilabial
dengan dental (/p/ - /t/). Sistem kontras ini disebut Sistem Konsonantal
Minimal (Minimal Consonantal System).
Hubungan antara satu bunyi dengan
bunyi yang lain bersifat universal. Jakobson mengajukan Law of Irreversible Solidarity yang isinya sebagai berikut.
1) Apabila
suatu bahasa memiliki konsonan hambat velar, bahasa tersebut pasti memiliki
konsonan hambat dental dan bilabial.
Contoh: Bila bahasa A memiliki bunyi /k/ dan /g/,
bahasa tersebut pasti memiliki /t/-/d/ dan /p/-/b/.
2) Apabila suatu
bahasa memiliki konsonan frikatif, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan
hambat.
Contoh: Bila bahasa A memiliki /f/ dan /v/, bahasa
tersebut pasti memiliki /p/-/b/, /t/-/d/, dan /k/-/g/.
3) Apabila
suatu bahasa memiliki konsonan afrikatif, bahasa tadi pasti memiliki konsonan
frikatif dan konsonan hambat.
Contoh: Bila bahasa A memiliki /c/-/j/, bahasa
tersebut pasti memiliki /s/, /t/, dan /d/.
Hukum ini meramalkan urutan
kesukaran masing-masing bunyi. Pada umumnya bunyi yang letaknya di bagian depan
mulut lebih mudah daripada yang di bagian belakang mulut. Dengan demikian, /p/
dan /b/ adalah lebih mudah daripada /k/ dan /g/. Bunyi yang dikuasai oleh anak
mengikuti urutan universal di atas. Karena /m/ dan /p/ adalah bilabial dan
mudah diucapkan, dan karena /a/ juga mudah maka bunyi tersebut akan keluar
lebih awal pada anak. Oleh karena itu, kata awal yang keluar pada anak adalah
/papa/ atau /mama/ atau ayah dan ibu (Gass dan Salinker dalam Dardjowidjojo
2010:239).
Urutan pemunculan bunyi ini bersifat
genetik dan karena perkembangan biologi manusia itu tidak sama maka kapan
munculnya suatu bunyi tidak dapat diukur dengan tahun atau bulan kalender.
Suatu bunyi tidak akan melangkahi bunyi yang lain. Tidak akan ada anak
Indonesia yang sudah dapat mengucapkan bunyi /r/, tetapi belum bisa mengucapkan
/p/, /g/, dan /j/. Bunyi-bunyi itu muncul berbeda dari satu anak ke anak yang
lain.
b. Universal
pada Komponen Sintaktik dan Semantik
Komponen sintaktik dan semantik
mempunyai derajat keuniversalan yang lebih rendah. Pada komponen fonologi,
urutan pemunculan bunyi terkait langsung dengan pertumbuhan biologi dan
neurologi anak. Pada komponen sintaktik dan semantik kaitan ini tidak langsung.
Pada komponen sintaktik pola-pola kalimat yang diperoleh secara universal. Anak
di mana pun juga selalu mulai dengan ujaran yang berupa satu kata, kemudian
berkembang menjadi dua kata; setelah itu, tiga kata atau lebih. Anak kalimat
relatif yang terletak pada akhir kalimat lebih dulu diperoleh daripada anak
kalimat relatif yang diselipkan di tengah kalimat. Komponen semantik lebih
labil lagi karena kata macam apa yang dikuasai dan berapa jumlahnya sangat
tergantung pada keadaan masing-masing anak.
Namun demikian, ada pula urutan
universal yang umumnya diikuti anak. Prinsip yang dinamakan sini dan kini (here and now) tampaknya universal.
Artinya bahwa di mana pun juga kosakata yang dikuasai anak pertama-tama adalah
kosakata dari objek yang ada di sekelilingnya (=sini) dan yang saat itu ada
(=kini). Anak belum bisa membayangkan benda yang tidak ada, atau peristiwa yang
sudah atau belum terjadi. Anak juga mengikuti prinsip universal lain yang
disebut penggelembungan makna (overextensional).
F. Rerata
Panjang Ujaran
Untuk mengukur perkembangan
sintaksis anak menggunakan Mean Length of
Utterance (MLU) atau Rerata Panjang Ujaran (RPU) (Dardjowidjojo 2010:241).
Cara menghitungnya adalah: 1) ambil sampel sebanyak 100 ujaran, b) hitung
jumlah morfemnya, dan 3) bagilah jumlah morfem itu dengan jumlah ujaran.
Misalnya, ada 253 morfem, maka RPU=253:100=2,5. Rambu-rambunya adalah misalnya,
bentuk komponen (kereta api), verba
tak teratur (drank), dan jamak tak
teratur (children) dianggap satu
morfem. RPU dipakai untuk menentukan tahap pemerolehan: Tahap I=RPU antara
1,0-2,0, sekitar umur 12-26 bulan: Tahap II=RPU antara 2,0-2,5, sekitar umur
27-30 bulan, dst.
G. Bahasa Ibu
Versus Bahasa Sang Ibu
Bahasa ibu (native language) adalah bahasa pertama yang dikuasai atau diperoleh
anak. Bahasa Inggris untuk anak dan orang Inggris adalah bahasa ibu. Bila ada
anak Indonesia lahir dan dibesarkan di London dan dari kecil menggunakan bahasa
Inggris, maka bahasa Inggris adalah bahasa ibunya. Sedangkan bahasa sang ibu (motherese, parentese, atau child directed
speech) adalah bahasa yang dipakai oleh orang dewasa pada waktu berbicara
dengan anak yang sedang dalam proses memperoleh bahasa ibunya. Ciri-ciri khusus
bahasa sang ibu adalah: 1) kalimatnya pendek-pendek, 2) nada suara bisanya
tinggi, 3) intonasinya agak berlebihan, 4) laju ujaran agak lambat, 5) banyak
redundansi (pengulangan), dan 6) banyak memakai kata sapaan.
Pada waktu berbicara dengan anak
ternyata bahasa yang digunakan ayah dan ibu berbeda. Ayah umumnya berbicara
lebih pendek, lebih banyak memakai kalimat imperative dan direktif, dan banyak
meminta penjelasan dari anak. Keadaan seperti ini justru sangat baik untuk anak
karena dia lalu sepertinya dipaksa untuk mengekspresikan diri agar ayahnya
mengerti apa yang dia katakana. Ayahnya seolah-olah menjadi jembatan untuk
berkomunikasi yang lebih jelas. Gejala ini disebut Father Bridge Hypothesys.
H. Komprehensi
dan Produksi
Baik anak maupun dewasa mempunyai
dua tingkatan kemampuan yang berbeda dalam berbahasa. Pada orang dewasa jumlah
kosakata yang dipakai secara aktif adalah lebih rendah daripada kata-kata yang
dapat dimengerti. Pada anak di mana pun juga kemampuan anak untuk memahami apa
yang dikatakan orang jauh lebih cepat dan jauh lebih baik daripada produksinya.
Sebagian peneliti mengatakan bahwa kemampuan anak dalam komprehensi adalah lima
kali lipat dibandingkan dengan produksinya. Pada saat anak memproduksi 10 kata
komprehensinya adalah 110 kata (11 kali lipat daripada produksinya).
Ketidak-seimbangan antara komprehensi dengan produksi ini tampak pada perilaku
bahasa sehari-hari si anak.
I. Proses Pemerolehan Bahasa
Di mana pun juga anak memperoleh bahasa
ibunya dengan strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh
biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik
yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat
dilahirkan. Pinker (1995) dalam jurnal internasional yang berjudul Language Acquisition menyatakan bahwa children learn languages that are governed
by highly subtle and abstract principles, and they do so without explicit
instruction or any other environmental clues to the nature of such principles. Maksudnya
bahwa anak-anak belajar bahasa secara pelan dan abstrak, dan mereka
melakukannya tanpa instruksi eksplisit atau pengaruh lingkungan dengan petunjuk
prinsip-prinsip dasar. Jadi, di dalam pemerolehan bahasa selain anak telah dibekali
kodrati pada saat dilahirkan juga dipengaruhi oleh faktor keturunan dan
lingkungan baik keluarga maupun tempat tinggal.
Di dalam bahasa juga terdapat konsep
universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang
universal ini. Bahasa mana pun dan wujudnya seperti apa ditentukan oleh input dari sekitarnya.
1) Pemerolehan
dalam Bidang Fonologi
Pada umur sekitar 6 minggu, anak
mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal.
Proses mengeluarkan bunyi-bunyi ini disebut cooing
atau dekutan. Anak mendekutkan bermacam-macam bunyi yang belum jelas
identitasnya. Pada sekitar umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan
vokal sehingga membentuk babbling
atau celotehan (Dardjowidjojo 2010:244). Celotehan dimulai dengan konsonan dan
diikuti oleh sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan
bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. Dengan demikian,
strukturnya adalah CV. Ciri lain dari celotehan adalah CV kemudian diulang
dengan struktur C1V1C1V1.... papapa
mamama bababa .... yang diartikan sebagai kata ayah dan ibu. Konsonan dan
vokalnya secara gradual berubah sehingga muncul kata-kata seperti dadi, dida, tita, dita, mama, mami, dst.
Pada anak Barat, kata sudah mulai
muncul pada umur sekitar satu tahun, sedangkan anak Indonesia munculnya kata
pertama agak terlambat karena anak Indonesia memerlukan waktu yang lebih lama
untuk menentukan suku mana yang akan diambil sebagai wakil dari kata itu. Pada
bahasa Inggris yang kebanyakan katanya adalah monosilabik, anak tidak harus
memilih suku mana. Pada anak Indonesia dengan kosakata kebanyakan polisilabik,
anak harus menganalisis lebih dulu barulah dia menentukan suku mana yang akan
diambil. Dari kata sepeda, misalnya,
mana yang akan diambil: se, pe, atau da. Pada anak Indonesia kebanyakan
memilih suku terakhir dan ini merupakan latar belakang yang universal, yaitu
bahwa anak di mana pun cenderung untuk memperhatikan akhir dari suatu bentuk
(Slobin dalam Dardjowidjojo 2010:245).
Pemunculan bunyi mempunyai urutan
yang universal. Anak mula-mula menguasai bunyi konsonan bilabial dengan vokal
/a/, kemudian alveolar dan velar. Bunyi afrikatif /tZ/ dan /dZ/ dikuasai lebih
belakangan lagi, sekitar umur empat tahun. Patokan tahun ini sangat relatif.
Ukuran tidak boleh tahun kalender, tetapi harus tahun neurobiologis, artinya
pada tahap perkembangan neurobiologi mana seorang anak dapat mengucapkan
bunyi-bunyi tertentu.
2) Pemerolehan
dalam Bidang Sintaksis
Tesis yang berjudul Pemerolehan
Bahasa Anak Usia 2-3 Tahun yang ditulis oleh Subyantoro (2011) menunjukkan
bahwa perkembangan
sintaksis anak memang dimulai dari tahap yang sederhana (satu suku/kata) ke
tahap yang lebih sukar (dua suku/kata atau lebih). Unsur ini ada, derajatnya
jauh di bawah komponen sintaksis, apalagi komponen fonologi adalah sistem bunyi
suatu bahasa.
Dalam bidang sintaksis, anak memulai
berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian kata). Kata ini, bagi anak
sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi karena ia belum dapat mengatakan lebih
dari satu kata, dia hanya mengambil satu kata dari seluruh kalimat itu disebut
Ujaran Satu Kata (USK) atau One Word
Utterance. Anak tidak sembarang saja memilih kata itu; dia akan memilih
kata yang memberikan informasi baru. Anak sudah mempunyai pengetahuan tentang
informasi lama versus informasi baru. Kalimat diucapkan untuk memberikan
informasi baru kepada pendengarnya.
Ciri-ciri USK, yaitu: 1) dari segi
sintaktiknya, USK sangatlah sederhana karena memnag hanya terdiri dari satu
kata saja; bahkan untuk bahasa seperti bahasa Indonesia hanya sebagian saja
dari kata itu. Namun dari segi semantiknya, USK adalah kompleks karena satu
kata itu bisa memiliki lebih dari satu makna. Anak yang mengatakan /bi/ untuk mobil bisa bermaksud mengatakan:
-
Ma, itu
mobil.
-
Ma, ayo kita
ke mobil.
-
Papa ada di
mobil, dsb.
Ujaran satu kata yang mempunyai berbagai makna disebut
holofrastik (holophrastic). 2) Pada
awalnya USK terdiri dari CV saja. Bila kata itu CVC maka C yang kedua
dilesapkan. 3) Pada awal USK tidak ada gugus konsonan. Semua gugus yang ada di
awal atau di akhir kalimat disederhanakan menjadi satu konsonan saja. 4)
Kata-kata yang dipakai hanyalah kata-kata dari kategori sintaktik utama (content words), yaitu nomina, verba,
adjektiva, dan adverbia. Tidak ada kata fugsi seperti from, to, dari, atau ke.
5) Kata-kata yang digunakan selalu dari kategori sini dan kini. Tidak ada yang
merujuk kepada yang tidak ada di sekitar atau pun ke masa lalu dan masa depan.
Sekitar umur 2;0 anak mulai
mengeluarkan Ujaran Dua Kata (UDK) atau Two
Word Utterance. Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga
seolah-olah dua kata itu terpisah. Jeda ini makin lama makin pendek sehingga
menjadi ujaran yang normal. Adapaun ciri-ciri UDK, yaitu: 1) orang dewasa dapat
lebih bisa menerka apa yang dimaksud oleh anak karena cakupan makna menjadi
lebih terbatas, 2) UDK sitaksisnya lebih kompleks karena ada dua kata, tetapi
semantiknya makin lebih jelas, 3) kata-kata yang digunakan dari kategori utama:
nomina, verba, adjektiva, dan adverbial, 4) belum ada kata fungsi seperti di, yang, dan, dsb., dan 5) belum
ditemukan afiks macam apa pun. UDK disebut sebagai telegrafik (telegraphic speech). Dalam UDK anak
ternyata sudah menguasai hubungan kasus (case
relations), anak juga sudah menguasai hubungan kasus antara perbuatan
dengan objek (action-object relation),
hubungan kasus pelaku-objek, dan hubungan kasus pelaku-perbuatan. Meskipun pada
UDK semantiknya semakin jelas, makna yang dimaksud anak masih tetap harus
diterka sesuai dengan konteksnya.
Pada tahap ini anak juga sudah dapat
menyatakan bentuk negatif. Pada bahasa Inggris anak mulai dengan negatif no. Pada anak Indonesia bentuk negatif
meliputi kata: bukan, belum, dan tidak. Pemerolehan bentuk negatif bukan
secara dini mungkin dipengaruhi oleh konsep sini
dan kini yang membuat nomina
lebih dominan daripada kategori yang lain, sehingga kata bukan merupakan negasi antara dua nomina. Munculnya bentuk negasi
ini mula-mula sebagai respon terhadap pertanyaan. Negasi belum tampaknya juga berkaitan dengan konsep sini dan kini karena
verbal adalah kategori kedua setelah nomina. Kata negatif ndak atau nggak juga
muncul hampir bersamaan dengan belum karena alasan yang sama. Setelah UDK tidak
ada ujaran tiga kata yang merupakan tahap khusus. Pada umumnya, pada saat anak
mulai memakai UDK, dia juga masih memakai USK. Setelah beberapa lama UDK dia
juga mulai mengeluarkan ujaran tiga kata atau bahkan lebih. Jadi, antara satu
jumlah kata dengan jumlah kata yang lain bukan merupakan tahap yang terputus.
(a) Bentuk Tatabahasa pada Anak
Dalam penelitian Santoso yang
berjudul Pemerolehan Bahasa Anak Usia
Tiga Tahun dalam Lingkungan Keluarga diketahui bahwa (1) berdasarkan
panjang ayat anak usia tiga tahun dalam bertutur pada umumnya mengucapkan
kata-kata secara terpenggal dan penguasaan bahasa yang dikuasai anak diperoleh
melalui tahapan-tahapan tertentu, (2) anak umur tiga tahun sudah mampu menyusun
kalimat dalam bertutur meskipun masih sangat sederhana dan terbatas, dan (3) berdasarkan jumlah ujaran
setiap giliran tutur dibuktikan anak tiga tahun dalam bertutur hanya menjawab
pertanyaan dari lawan tutur. Jadi, dalam pemerolehan bahasa anak tidak
serta-merta langsung dapat berbicara, tetapi melalui tahap-tahap tertentu dari
sederhana (urutan satu suku kata) ke yang rumit (lebih dari dua kata).
Penelitian Martin Braine pada tahun
1963 (dalam Dardjowidjojo 2010:250) menyimpulkan bahwa urutan dua kata yang
dipakai anak ternyata mengikuti aturan tertentu. Kata-kata tertentu selalu
berada pada tempat tertentu pula dan ada kata-kata yang tidak pernah muncul
sendirian. Anak-anak yang diteliti membagi dua kelompok kata: (1) kata-kata
yang sering muncul, yang tidak pernah sendirian, dan muncul pada posisi
tertentu disebut pivot karena ujaran
anak berkisar pada kata-kata lain, dan (2) kata-kata yang jumlahnya lebih
besar, yang munculnya tida sesering seperti yang ada pada (1), posisinya juga
di mana saja, dan bisa muncul sendirian disebut open.
Anak tampaknya telah merumuskan
tatabahasa yang berbunyi kira-kira seperti: “Sebuah kalimat terdiri dari (1) pivot tipe 1 yang diikuti oleh kelompok
kata terbuka atau (2) kelompok kata terbuka yang diikuti oleh pivot tipe 2” (Aitchison dalam Dardjowidjojo
2010:251). Tatabahasa ini disebut Pivot
Grammar. Dua kata dari kelompok terbuka bukanlah dua sembarang kata, tetapi
dua kata yang mengikuti aturan tertentu.
Pada bahasa seperti bahasa
Indonesia, di mana bentuk pasif sangat dominan, anak sering mendapat masukan
yang berupa kalimat pasif dan karenanya membentuk pula pola kalimat pasif jauh
lebih awal daripada anak Inggris. Anak Inggris rata-rata baru dapat memakai
kalimat pasif pada umur 4;0. Parameter pada tatabahasa universal memang
mengatur ‘tombol-tombol’ mana yang akan menyala, tetapi parameter juga
mempunyai default setting, yaitu
suatu titik tolak yang akan dipakai sebagai langkah dari pemerolehan. Anak
mengikuti pola universal pada aspek-aspek gramatikal yang lain. Hal lain yang
dianggap universal adalah pemerolehan sufiks yang selalu terjadi lebih awal
daripada prefiks dan pemerolehan adjektiva tertentu. Ajektiva yang mempunyai
dimensi umum dikuasai lebih awal daripada adjektiva yang dimensinya khusus.
Urutan pemerolehan juga tampak pada
pemerolehan kalimat interogatif. Kalimat interogatif ya/tidak dikuasai lebih
awal daripada kalimat interogatif apa/mana. Kalimat interogatif yang menanyakan
apa atau siapa dikuasai lebih awal daripada yang menanyakan mengapa dan bagaimana karena apa dan siapa merujuk ke benda kongkret
sedangkan mengapa dan bagaiman lebih abstrak dan memerlukan
daya kognisi yang lebih matang.
Untuk kalimat negatif ada pula
urutan yang diikuti oleh anak. Untuk bahasa Ingris, anak mulai dengan
menempatkan kata no di paling awal
ujaran. Untuk anak Indonesia kalimat negative berkisar pada pemilihan bentuk
mana yang harus dipakai; bukan, belum, atau enggak/ndak/tidak. Menjelang umur
4;0 anak sudah mulai memkai kalimat komplek. Pada anak Inggris kalimat
koordinatif dikuasai lebih awal daripada kalimat sub-ordinatif. Pada kalimat
kompleks anak mengikuti Minimal Distance
Principle (MDP), suatu prinsipel yang dikembangkan oleh Chomsky (1969). MDP
mengatakan bahwa nomina yang paling dekat dengan verba pada anak kalimat
komplemen adalah subjek dari verba kalimat komplemen tersebut.
3) Pemerolehan
pada Bidang Leksikon
Sebelum anak dapat mengucapkan kata,
dia memakai cara lain untuk berkomunikasi; dia memakai tangis dan gesture (gesture), gerakan tangan, kaki, mulut,
mata, dsb). Pada awal hidupnya anak memakai pula gestur seperti senyum dan
juluran tangan untuk meminta sesuatu. Dengan cara-cara ini anak sebenarnya
memakai “kalimat” yang protodeklaratif dan protoimperatif (Gleason dan Ratner
dalam Dardjowidjojo 2010:258).
Menurut Dromi (1987:15) untuk suatu
bentuk dapat dianggap telah dikuasai anak maka bentuk itu harus memiliki: (1)
kemiripan fonetik dengan bentuk kata orang dewasa, dan (2) korelasi yang ajeg
antara bentuk dengan referen atau maknanya. Anak Indonesia mengalami terlamat
dalam berujar karena harus menganalisis secara mental terlebih dahulu dari dua,
tiga, atau empat suku kata itu mana yang akan diambil. Ternyata yang diambil
adalah suku kata terakhir.
(a) Macam Kata yang Dikuasai
Macam kata yang dikuasai anak
mengikuti prinsip sini dan kini. Dengan demikian kata-kata yang diperoleh anak
pada awal ujarannya ditetukan oleh ligkungannya. Dari macam kata yang ada,
yaitu kata utama dan kata fungsi, anak lebih menguasai kata utama (nomina,
verba, dan adjektiva) dulu.
Kata mempunyai jalur hierarki
semantik. Dalam hal pemerolehan kata, anak tidak akan memperoleh kata yang
hierarkinya terlalu tinggi atau terlalu rendah. Anak akan mengambil apa yang
disebut basic level category, yaitu
suatu kategori dasar yang tidak terlalu tinggi, tetapi juga tidak terlalu
rendah. Inputnya adalah bahasa sang ibu yang mengikuti prinsip ini.
(b) Cara Anak Menentukan Makna
Dari masukan kata yang ada, anak
harus menganalisis segala macam fiturnya sehingga makna yang diperolehnya itu
akhirnya sama dengan makna yang dipakai oleh orang dewasa. Dalam hal penentuan
makna suatu kata, anak mengikuti prinsip-prinsip universal, salah satunya
adalah overextension (pengelembungna
makna). Artinya, anak cenderung untuk mengambl salah satu fitur dari konsep
itu, lalu menerapkannya pada konsep lain yang memiliki fitur tersebut. Di
samping bentuk, ukuran juga bisa menjadi fitur yang diambil anak. Oleh karena
itu, penggelembungan makna dapat berdasarkan bentuk, ukuran, gerakan, bunyi,
dan tekstur (texture). Selain overextension (pengelembungna makna),
anak juga memakai underextension (penciutan makna), yaitu membatasi makna hanya
pada referen yang telah dirujuk sebelumnya.
(c) Cara Anak Menguasai Makna Kata
Anak tidak menguasai makna kata
secara sembarang, tetapi dengan strategi. Strategi-strategi tersebut antara
lain sebagai berikut.
§ Strategi
referensi, yaitu dengan menganggap bahwa kata pastilah merujuk pada benda,
perbuatan, proses, atau atribut. Dengan strategi ini anak yang baru mendengar
suatu kata baru akan menempelkan makna kata itu pada salah satu dari refernsi
di atas.
Contoh: jika anak diperkenalkan kata cabe, anak akan
meletakkan makna kata itu pada benda yang dirujuk dengan nama itu.
§ Strategi
cakupan objek (object scope), yaitu
kata yang merujuk pada suatu objek merujuk pada objek itu secara keseluruhan,
tidak hanya sebagian dari objek itu saja.
Contoh: jika anak diperkenalkan kepada objek sepeda
maka keseluruhan dari sepeda itu yang dikusainya bukan hanya roda atau
rantaninya saja.
§ Strategi
peluasan (extendability), yaitu kata
tidak hanya merujuk pada objek aslinya saja, tetapi juga pada objek-objek lain
dalam kelompok yang sama itu.
Contoh: jika anak diperkenalkan dengan kucing berbulu
hitam, maka dia akan tahu kucing yang berbulu putih juga disebut kucing.
§ Strategi
cakupan kategorial (categorical scope),
yaitu kata dapat diperluas pemakainnya untuk objek-objek yang termasuk dalam
kategori dasar yang sama.
Contoh: jika anak diperkenalkan dengan merpati sebagai
burung, dan jika melihat beo anak akan tahu bahwa beo juga termasuk burung.
§ Strategi
nama baru-kategori tak bernama (novel
name-nameless category), yaitu anak yang mendengar kata dan setelah dicari
dalam leksikon mental dia ternyata kata ini tidak ada rujukannya, maka kata ini
akan dianggap kata baru dan maknanya ditempelkan pada objek, perbuatan, atau
atribut yang dirujuk oleh kata itu.
Contoh: ketika anak mendengar kata kancing dia akan
mencari dalam leksikon mental dia apa rujukan dari kata itu, dan ternyata rujukan
itu belum ada maka anak akan menggap kata itu kata baru dan menempelkan
maknanya pada benda kancing itu. Strategi ini yang membuat anak cepat sekali
dalam menambah kosa katanya sejak umur 1;8.
§ Strategi
konvensionalitas (conventionality),
yakni pembicara memakai kata-kata yang tidak terlalu umum, tetapi juga tidak
terlalu khusus.
Contoh: kata merpati diajarkan sebagai bagian dari
burung, dan kata burung merupakan bagian dari binantang.
Dalam penguasaan makna kata anak
menghadapi banyak kendala karena kata memiliki derajat kesukaran yang
berbeda-beda. Pada umunya, kata-kata yang kongkrit lebih mudah dipahami
daripada yang abstrak dan karenanya lebih mudah dan lebih cepat diperoleh anak.
Pemerolehan kata pada anak sangat dibantu oleh konteks di mana kata itu
dipakai. Dari konteks ini anak dapat pula mengetahui apakah suatu kata itu
nomina, verba, adjektiva, atau apa. Namun dalam usaha untuk menentukan kategori
sintaktik suatu kata, anak sering “menciptakan” kata sendiri berdasarkan
pertimbangan yang menurut anak logis.
4) Pemerolehan
dalam Bidang Pragmatik
Pragmatik adalah studi tentang
penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan orang lain dalam masyarakat yang
sama (Ninio dan Snow dalam Dardjowidjojo:264). Pragmatik bukan merupakan
komponen keempat (di samping fonologi, sintaksis, dan leksikon) pada bahasa,
tetapi memberikan perspektif yang berbeda mengenai bahasa.
Dalam bahasa Indonesia pronominal
orang kedua mampunyai banyak bentuk: kamu, engkau, saudara, anda, bapak, ibu,
dsb. Pemakaian pronominal diatur oleh aturan sosial yang tidak sederhana.
Sebaliknya, pronominal Inggris you
dapat dipakai untuk siapa dan kapan pun juga. Karena prgamatik merupakan bagian
dari perilaku berbahasa maka penelitian mengenai pemerolehan bahasa perlu pula
mengamati bagaimana anak mengembangkan kemampuan pragmatiknya.
(a) Pemerolehan Niat Komunikatif
Dari minggu-minggu pertama sesudah
lahir, anak mulai menunjukkan niat komunikatifnya dengan antara lain tersenyum,
menoleh bila dipanggil, menggapai bila diberi sesuatu, dan memberikan sesuatu
kepada orang lain. Semua itu ditentukan pada saat pra-vokalisasi atau
protodeklaratif dan proto-imperatif. Setelah perkembangan biologisnya
memungkinkan, anak mulai mewujudkan niat komunikatifnya dalam bentuk bunyi.
Dari penelitian Nino Snow diketahui bahwa arah ujaran awal-awal adalah ke diri
anak, artinya, semua ujaran yang dikelaurkan diarahkan untuk kepentingan dia
sendiri, bukan untuk orang lain. Karena itulah pada awal hidupnya anak
kelihatan egois dan egosentris.
(b) Pemerolehan Kemampuan Percakapan
Pengembangan kemampuan percakapan,
anak juga secara bertahap menguasai aturan-aturan yang ada. Struktur percakapan
terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1) pembukaan, (2) giliran, dan (3) penutup.
Secara naluri anak akan tahu kapan pembukaan percakapan itu terjadi. Aturan
main dalam batang tubuh percakapan juga dikuasainya secara gradual. Dari
penelitian Pan dan Snow didapati bahwa umur 1;8 anak hanya menangapi sekitar
33% dari apa yang ditanyakan oleh orangtuanya. Prosentase ini naik menjadi
56,7% pada umur 2;5-3;0. Begitu pula relevansiny; hanya sekitar 19% dari
tanggapan anak yang relevan dengan topik yang sedang dibicarakan (Owens dalam
Dardjowidjojo:267).
5)
Pengembangan Piranti Wacana
Pada anak pada umumnya wacana
berbentuk percakapan antara anak dan orang dewasa atau dengan anak lain.
Percakapan ini dapat berjalan cukup lancar karena interlocutor anak adalah
orang-orang dekat yang umumnya memberikan dukungan kalimat-kalimat penyambung (habis itu, ke mana si Kancil pergi?),
dan yang dibicarakan adalah hal-hal yang dikenal anak. Sedangkan pada
percakapan antar orang dewasa dukungan kalimat penyambung ini tidak ada. Akan
kedengaran aneh kalau antar orang dewasa ada kalimat seperti ini Pak, habis itu, ke mana si Arif, pergi Pak?
Percakapan antar orang dewasa didasarkan pada asumsi akan adanya pengetahuan
tertentu pada si interlokutor sehingga informasi sudah dapat dipilah-pilah
menjadi mana yang lama dan mana yang baru. Asumsi ini belum dapat diterapkan
pada anak.
6) Waktu
Pemerolehan Bahasa Dimulai
Berbahasa mencakup komperhensi
maupun produksi maka sebenarnya anak sudah mulai berbahasa sebelum dia
dilahirkan. Melalui saluran intrauterine anak telah terekspos pada bahasa
manusia waktu di dalam janin (Kent dan Miolo Dardjowidjojo:268). Kata-kata dari
ibunya tiap hari dia dengar dan secara biologis kata-kata itu masuk ke janin.
Kata-kata ibunya ini tertanam pada janin anak, sehingga anak selalu lebih dekat
dengan ibunya daripada ayahnya. Dengan memakai alat High Amplitude Sucking Paradigm (HASP) anak umur di bawah tiga
bulan ternyata sudah dapat membedakan VOT. Pengukuran detak jantung yang
bertambah atau menurun waktu diperdengarkan bunyi-bunyi tertentu.
J. Implementasi dalam Kehidupan Sehari-Hari
Pemerolehan bahasa pada anak
dipengaruhi banyak faktor, baik faktor keturunan maupun lingkungan. Dalam
kehidupan sehari-hari orang tua sering tidak sadar terhadap perkembangan bahasa
anaknya. Bahasa anak berkembang pesat diusia balita atau dalam usia emas anak.
Anak akan dengan gampang belajar berbicara dan memperoleh kosakata, misalnya
dengan diajari secara langsung oleh orangtuanya, dengan menyimak ujaran-ujaran
orang dewasa, dengan belajar berbicara sendiri atau dengan mainan, berbicara
dengan teman sebayanya, dan lain-lain. Setiap anak mempunyai cara dan kemampuan
yang berbeda dalam pemerolehan bahasanya. Umur si anak dalam pemerolehan bahasa
tidak menjadi ukuran pasti. Misalnya, si A sudah dapat mengucapakan kata-kata
sukar yang terdiri dari lebih dari dua suku kata atau kata-kata yang mempunyai
bunyi huruf /r/ pada usia 3,5 tahun, tetapi si B baru bisa mengucapkannya pada
usia 4 tahun. Perbedaan tersebut kadang dibanding-bandingkan oleh orangtua
sehingga cenderung memaksakan kehendak pada anaknya agar anak tersebut
secepatnya bisa berbicara tanpa memahami kemampuan dan kondisi anaknya.
K. Penutup
Sebagai orangtua hendakanya harus
sabar dan telaten dalam mengajari anak belajar bahasa. Orangtua tidak boleh
memaksa si anak agar cepat bisa karena pada dasarnya anak sudah dibekali
kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa anak melalui tahap-tahap tertentu,
sehingga orangtua juga hendanya selalu mendampingi anak dalam tahap-tahap
pemerolehan bahasa tersebut. Anak usia balita atau dalam masa emas akan
memperoleh bahasa dengan cepat dan tidak disadari oleh orangtuanya. Setiap hari
anak memperoleh pemahaman dan kosakata baru sehingga semakin lama kosakata yang
diperoleh semakin banyak. Selain itu, semakin matang organ ucapa anak semakin
jelas dan benar kata yang diujarkan. Pemerolehan bahasa anak ini dipengaruhi
beberapa faktor, antara lain: (1) orangtua dan keluarga, (2) lingkungan baik
tempat tinggal maupun pendidikan, dan (3) kemampuan idividu si anak.