Friday 20 February 2015

Pemerolehan Bahasa Anak


Dalam kehidupan di dunia ini terdapat ungkapan “Tiada hari tanpa bahasa dan tiada kehidupan tanpa bahasa”. Bahasa merupakan sarana komunikasi utama dalam kehidupan manusia di dunia ini baik dalam bentuk tulisan, lisan, maupun yang hanya berupa simbol-simbol tertentu. Tanpa bahasa manusia tidak dapat berkomunikasi karena manusia adalah makhluk sosial yang mau tidak mau harus berinteraksi dengan manusia lain. Di dalam interaksi pasti ada komunikasi dan di dalam komunikasi itu pasti ada bahasa. Berbeda dengan hewan yang menggunakan insting dalam berkomunikasi dengan hewan lain. Secara umum bahasa yang digunakan manusia di belahan dunia mana pun adalah sama karena bahasa itu universal. Perbedaan terletak pada variasi bahasanya, misalnya orang di negara Inggris untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, orang di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia, orang di Perancis menggunakan bahasa Perancis, dan sebagainya.
Makalah ini mengkaji tentang pemerolehan bahasa pada manusia. Bahasa manusia diperoleh sejak manusia dalam kandungan, tapi dalam makalah ini hanya mengkaji pemerolehan bahasa ketika sudah lahir.
Chaer (2009) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua, setelah ia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa yang pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua.
Woozley dalam jurnal internasional yang berjudul Second Language Acquisition and the Communicative Approach menyatakan bahwa,
“learning a language was seen as a process of habit formation resulting from input and positive reinforcement of correct habits, negative reinforcement of mistakes. The learner was a blank canvas who learned a language as a set of habits through imitation. Mistakes were seen as unwanted interference from the habits acquired with the learner’s first language”.
Artinya bahwa belajar bahasa merupakan proses pembentukan kebiasaan yang dihasilkan dari input dan kebiasaan penguatan positif  dari yang benar dan penguatan negatif dari kesalahan. Anak adalah sebuah kanvas kosong dalam belajar bahasa sebagai seperangkat kebiasaan melalui tiruan. Kesalahan dipandang sebagai gangguan yang tidak diinginkan dari kebiasaan yang ada dalam bahasa pertama anak.
Istilah pemerolehan (acquisition) berarti proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu ia belajar bahasa ibunya (native language). Istilah ini berbeda dengan pembelajaran (learning), yakni proses yang dilakukan dalam tataran yang formal (belajar di kelas dan diajar oleh seorang guru). Dengan demikian, proses dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan proses dari orang (umumnya dewasa) yang belajar di kelas adalah pembelajaran (Dardjowidjojo 2010).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pemerolehan bahasa (language acquisition) merupakan proses ketika anak memperoleh bahasa pertamanya, sedangkan pembelajaran bahasa (language learning) merupakan proses ketika anak memperoleh bahasa kedua.
Umumnya manusia dapat mempersepsi dan kemudian memahami ujaran orang lain merupakan unsur pertama yang harus dikuasai manusia dalam berbahasa. Manusia hanya dapat memproduksi ujaran apabila dia mengetahui aturan-aturan yang harus diikuti yang dia peroleh sejak kecil. Pemerolehan bahasa pada umur dewasa memunculkan wujud bahasa yang berbeda daripada pemerolehan bahasa sejak anak masih kecil berkaitan erat dengan struktur serta organisasi otak manusia.
Penelitian Dardjowidjodjo (2010) merupakan rujukan utama makalah ini. Dalam penelitian tersebut peneliti meneliti perkembangan atau pemerolehan bahasa cucunya. Berdasarkan penelitian tersebut maka terlahir teori-teori yang menjadi acuan psikolinguistik saat ini.

B.  Pemerolehan Bahasa
1.    Sejarah Kajian Pemerolehan Bahasa
Pada abad ke tujuh SM konon raja Mesir, Psammetichus I ingin mengetahui bahasa yang keluar dari anak-anaknya dengan cara mengisolasinya. Pada 1877 Charles Darwin mencatat perkembangan bahasa anak lelakinya dengan catatan buku harian. Selanjutnya Ingram (1989) membagi perkembangan studi tentang pemerolehan bahasa menjadi tiga tahab, yaitu sebagai berikut.
a.    Periode Buku Harian (1876-1926)
Pada masa ini kajian pemerolehan bahasa anak dilakukan dengan peneliti mencatat apapun yang diujarkan oleh anak dalam suatu buku harian. Data dalam buku harian ini kemudian dianalisis untuk disimpulkan hasilnya.
b.   Periode Sampel Besar (1926-1987)
Periode ini berkaitan dengan munculnya aliran baru dalam ilmu jiwa, yaitu behavioristik yang menekankan peran lingkungan dalam pemerolehan pengetahuan termasuk pengetahuan bahasa. Untuk mendapatkan hasil yang sahih dan akurat diperukan sampel yang besar.
c.    Periode Kajian Longitudinal (1957)
Munculnya buku Chomsky Syntactic Structures (1957) merupakan titik awal tumbuhnya aliran mentalisme atau nativisme pada ilmu linguistik. Berlawanan dengan behaviorisme, aliran ini menandaskan adanya bekal kodrati yang dibawa pada waktu anak dilahirkan. Bekal inilah yang membuat anak di mana pun juga memakai strategi yang sama dalam memperoleh bahasanya. Ciri utama periode ini adalah bahwa studi longitudinal memerlukan jangka waktu yang panjang karena yang diteliti adalah perkembangan sesuatu yang sedang dikaji dari satu waktu sampai ke waktu yang lain. 
2.    Metode dan Desain Penelitian dalam Pemerolehan Bahasa
Metode penelitian yang digunakan dalam pemerolehan menurut Dardjowidjojo (2010) sebagai berikut.
a.    Catatan Harian
Metode ini dilakukan dengan cara mencatat apapun yang diujarkan oleh anak dalam suatu buku harian. Data dalam buku harian ini kemudian dianalisis untuk disimpulkan hasilnya.
b.   Observasi (Natural dan Terkontrol)
Metode ini berupa pengamatan lapangan oleh peneliti. Peneliti seperti Brown (1973) meneliti untuk mengetahui bagaimana sistem gramatikal anaknya berkembang. Dardjowidjojo (2000) menegikuti perkembangan cucunya dari lahir hingga umur lima tahun. Dalam bidang fonologi Yulianto (2001) melakukan kajian bagaimana anak memperoleh fonologi bahasa Indonesia dari umur 1;0-2;6. Data rekaman untuk berbagai bahasa di dunia dikumpukan pada tahun 1985 dalam koleksi CHILDES (Child Language Exchange Data System).
c.    Wawancara
Metode ini berguna untuk mengecek atau mengecek ulang sesuatu yang ingin diketahui oleh peneliti.
d.   Eksperimen (Eksperimental dan Terkontrol)
Metode ini dipakai peneliti untuk mengetahui jawaban terhadap suatu masalah. Dalam hal ini peneliti memilih topik yang akan diteliti.
Selanjutnya desain penelitian yang digunakan dalam pemerolehan bahasa dapat Longitudinal (jangka waktu yang panjang) atua Cross-sectional (waktunya adalah suatu titik waktu tertentu, subjeknya biasanya lebih dari satu orang, dan topiknya telah ditentukan terlebih dahulu). Keduanya bersifat observasional ataupun eksperimental.
Pada tipe observasional dan natural, peneliti tidak mengadakan interferensi apapun. Anak dibiarkan berbahasa secara natural di tempat yang tidak khusus disediakan. Pada tipe observasional terkontrol tempat penelitian sudah diatur terlebih dahulu oleh peneliti. Sedangkan pada tipe eksperimental peneliti mengadakan interferensi untuk mengetahui apakah suatu keadaan tertentu akan memunculkan hasil yang diramalkan. Dalam tipe ini ada dua kelompok, yaitu kelompok eksperimental (kelompok yang sedang diteliti sehingga mendapat perlakukan khusus) dan kelompok kontrol (kelompok biasa yang digunakan sebagai pembanding)
3.    Hipotesis Pemerolehan Bahasa
Sayekti (2001) dalam jurnal ilmiah berjudul Pemerolehan Bahasa pada Anak Balita meneliti tentang proses belajar bahasa pertama pada anak balita. Proses tersebut berlangsung secara efektif pada usia di bawah lima tahun (balita). Proses itu secara bertahap terus berlanjut mengikuti perkembangan usia dan pengalamannya. Potensi belajar bahasa pada anak balita tinggi, sehingga potensi itu perlu dioptimalkan, mengingat penguasaan bahasa sangat berpengaruh kepada proses penguasaan yang lain ketika anak memasuki usia sekolah. Jadi, dapat dikatakan bahwa usia balita adalah usia emas dalam pemerolehan bahasa, sehingga pada masa ini harus benar-benar dioptimalkan agar pemerolehan bahasa anak dapat maksimal.
Ada dua proses yang terjadi pada proses pemerolehan bahasa pertama pada anak, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua buah proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat yang didengar. Sedangkan penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat-kalimat sendiri. Kedua jenis proses kompetensi ini apabila telah dikuasai anak akan menjadi kemampuan linguistik anak tersebut (Chaer 2009:167). Jadi, kemampuan linguistik terdiri dari kemampuan memahami dan kemampuan melahirkan atau menerbitkan kalimat-kalimat baru yang dalam linguistik transformasi generatif disebut perlakuan atau pelaksanaan bahasa, atau performansi.
Beberapa teori atau hipotesis yang berkaitan dengan masalah pemerolehan bahasa dapat diuraikan berikut ini.
a.    Hipotesis Nurani
Dalam pemerolehan bahasa yang diperoleh anak adalah kompetensi dan performansi bahasa pertamanya itu. Kemudian karena tatabahasa terdiri dari komponen sintaksis, semantik, dan fonologi, dan disetiap komponen itu berupa rumus-rumus (kaidah-kaidah) maka ketiga macam rumus inilah yang terlebih dahulu dikuasai anak dalam pemerolehan bahasa. Menurut Chomsky alat yang digunakan anak untuk memperoleh kemampuan berbahasa adalah hipotesis nurani (bahasa Inggris innate = dibawa sejak lahir, berada di dalam, atau semula jadi). Hipotesis ini terlahir dari beberapa pengamatan yang dilakukan para pakar terhadap pemerolehan bahasa anak. Simpulan pengamatan tersebut yaitu manusia lahir dengan dilengkapi oleh suatu alat yang memungkinkan dapat berbahasa dengan mudah dan cepat.
Ada dua macam hipotesis nurani, yaitu hipotesis nurani bahasa dan hipotesis nurani mekanisme (Simanjuntak dalam Chaer, 2009:169). Hipotesis nurani bahasa merupakan satu asumsi yang menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian dari bahasa tidak dipelajari atau diperoleh, tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus dari organism manusia. Sedangkan hipotesis nurani mekanisme menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa oleh manusia ditentukan oleh perkembangan kognitif umum dan mekanisme nurani umum yang berinteraksi dengan pengalaman. Maka beda kedua hipotesis ini adalah bahwa hipotesis nurani bahasa menekankan terdapatnya sesuatu “benda” nurani yang dibawa sejak lahir yang khusus untuk bahasa dan berbahasa. Sedangkan hipotesis nurani mekanisme terdapatnya suatu “benda” nurani berbentuk mekanisme yang umum untuk semua kemampuan manusia.  
b.   Hipotesis Tabularasa
Secara harfiah tabularasa berarti “kertas kosong”, dalam arti belum diisi apa-apa. Jadi, hipotesis tabularasa menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas kosong yang nanti akan ditulis atau diisi dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis ini awalnya dikemukakan oleh John Locke seorang tokoh empiris. Menurut hipotesis tabularasa semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia itu. Sejalan dengan hipotesis ini, behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan linguistik terdiri hanya dari rangkaian hubungan-hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran S-R (Stimulus-Respons). Cara pembelajaran yang dikenal adalah pelaziman klasik, pelaziman operan, dan mediasi atau penengah yang telah dimodifikasi menjadi teori-teori pembelajaran bahasa.
Teori pembelajaran bahasa pelaziman operan menyatakan bahwa perilaku bahasa seseorang dibentuk oleh serentetan ganjaran yang beragam-ragam yang muncul di sekitar orang itu. Sedangkan teori mediasi atau penengah yang diperkenalkankan oleh Jenkin disebut “rantai respons” (response chaining). Teori rantai respons ini didasarkan pada prinsip mediasi atau pertengahan bahasa.
c.    Hipotesis Kesemestaan Kognitif
Hipotesis kesemestaan kognitif diperkenalkan oleh Piaget. Menurutnya bahasa merupakan satu bagian dari perkembangan kognitif (intelek) secara umum. Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh anak-anak melalui interaksi dengan benda-benda atau orang-orang di sekitarnya. Menurut Sinclair-de Zwart (dalam Chaer 2009:179) ada tiga tahap pemerolehan bahasa anak-anak. Pertama, anak-anak memilih satu gabungan bunyi pendek dari bunyi-bunyi yang didengarnya untuk menyampaikan satu pola aksi. Kedua, jika gabungan bunyi-bunyi pendek ini dipahami maka anak-anak itu akan memakai seri bunyi yang sama, tetapi dengan bentuk fonetik yang lebih dekat dengan fonetik orang dewasa, untuk menyampaikan pola-pola aksi yang sama, atau apabila pola aksi yang sama dilakukan oleh orang lain. Pola aksi ini pada mulanya selalu mempunyai hubungan dengan anak-anak itu, dan di dalam pola aksi itu selalu terjalin unsur, yaitu agen, aksi, dan penderita. Ketiga, muncul fungsi-fungsi tatabahasa yang pertama, yaitu subjek-predikat yang menghasilkan unsure Subjek – Verbal – Objek atau Agen + Aksi + Penderita.
Hipotesis kesemestaan kognitif sama dengan hipotesis nurani mekanisme dalam linguistik. Piaget dan Mc. Namara menyimpulkan bahwa anak-anak lebih dahulu mengembangkan proses-proses kognitif yang bukan linguistik. Setelah itu barulah mereka memperoleh lambang-lambang linguistik itu. Jadi, pemerolehan bahasa bergantung pada pemerolehan proses-proses kognitif itu.

C.  Teori-Teori Pemerolehan Bahasa
Ada dua aliran yang saling bertolak belakang, yaitu aliran behaviorisme dan aliran mentalisme. Teori behavioristik hanya mengambil kelakuan yang dapat diamati sebagai titik tolak untuk deskripsi dan penjelasannya. Sedangkan teori mentalistik mengambil struktur dan cara kesadaran sebagai dasarnya. Dalam proses pemerolehan bahasa, aliran behavioristik terutama mendasari teori belajar yang mementingkan lingkungan verbal dan nonverbal, sedangkan aliran mentalistik mendasari teori belajar yang menekankan adanya kemampuan lahiriah pada seorang anak untuk belajar suatu bahasa. Oleh karena itu, para behavioris lebih menyukai istilah belajar bahasa (language learning) dan para mentalis lebih menyukai istilah pemerolehan bahasa (language acquisition).
1.    Pendirian Behavioristik mengenai Pemerolehan Bahasa
Teori belajar behavioristik menyediakan deskripsi dan menjelaskan kelakuan (bahasa) dengan bantuan model S-R. Pada teori ini ada hubungan antara suatu stimulus atau situasi stimulus (S) dari luar atau dalam organismenya dan suatu reaksi (R) dari organisme tersebut. Dalam pendirian behavioristik hanya ada kepastian jika S dan R dapat diamati. Pendapat ilmiah harus diutamakan dan sebagai dan didasarkan atas kelakuan yang bisa diamati. Teori behavioristik menjelaskan kelakuan belajar semua makhluk hidup, tidak ada tempat untuk pengertian mentalistik, seperti kesadaran, rencana, maksud, dan konsep. Analisis kelakuan behavioristik didasarkan atas aksioma-aksioma, yaitu: 1) semua kelakuan merupakan akibat rangsangan faktor-faktor lingkungan dan 2) kelakuan dapat diubah sesuai dengan perubahan lingkungan.
a.    Model S-R Skinner
Skiner membawa pengaruh besar pada psikolinguistik behavioristik di AS pada tahun 1950-an. Skiner mencoba membuat analisis mengenai kelakuan bahasa dengan cara meneliti variabel-variabel yang menentukan kelakuan itu. Variabel-variabel tersebut dilakukan sebagai S dan R. Setiap ujaran bahasa menyusul suatu S yang verbal atau nonverbal: dalam hal yang terakhir ada suatu stimulus yang mengakibatkan seseorang menghasilkan suatu ujaran tertentu. Skiner hanya mau memperhitungkan kelakuan yang bisa diamati – hubungan antara stimuli yang dapat diukur secara objektif dan reaksi-reaksi yang dapat diukur secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak dapat diukur dalam organismenya sendiri.
Data Skiner adalah ujaran-ujaran bahasa manusia dan kondisi tempat ujaran itu dihasilkan sangatlah penting. Belajar suatu bahasa berlangsung di bawah suatu kondisi tersebut. Selama individu-individu mengalami kondisi yang sama, mereka juga akan belajar dengan cara yang sama. Perbedaan dalam kemampuan belajar disebabkan oleh perbedaan dalam pengalaman belajar; makin luas pengalaman tersebut makin besar kemahiran dalam penggunaan bahasa. Dengan demikian, kemahiran bahasa dicapai melalui latihan dan pengalaman. Pengalaman itu diperoleh melalui produksi dan persepsi ujaran bahasa. Di samping itu, dibutuhkan pula penguatan (positif) untuk mencapai tingkat kemahiran yang lebih tinggi. Penghargaan dari pihak orangtua merupakan bentuk penguatan yang penting pada proses pemerolehan bahasa. Jika seorang anak bereaksi pada suatu S dengan ujaran yang dipahami oleh lingkungannya, maka R dari orangtua atas ujaran tersebut berfungsi sebagai penguatan. Dengan cara demikian, penguatan bahasa yang gramatikal benar dipicu, dan penggunaan yang tidak gramatikal tidak dihargai. Satu R saja tidak cukup untuk proses belajar, harus ada pengulangan. Makin banyak pengulangan, makin baik proses belajar akan berlangsung. Reaksi-reaksi dan pengulangan reaksi mutlak perlu untuk belajar apa saja.   
b.   Teori Chomsky 
Ada banyak kritik dan reaksi terhadap behavioristik Skinner itu (Skinner menulis teorinya dalam Verbal Behavior yang diterbitkan pada tahun 1957). Kritik pertama, sangat dan mendasar datang dari Chomsky, yang secara mendalam membahas “Verbal Behavior”. Chomsky mengatakan bahwa kelakuan manusia jauh lebih rumit daripada kelakuan hewan. Apalagi kelakuan bahasa, yang begitu khas untuk spesies manusia saja, sehingga tidak mungkin dijelaskan dengan kelakuan hewan. Menurut Chomsky, deskripsi mengenai sesuatu yang begitu kompleks seperti kelakuan bahasa manusia tidak mungkin hanya berupa deskripsi stimuli luar, tetapi deskripsi mengenai kemampuan lahiriah manusia untuk belajar suatu bahasa.
2.    Pendirian Mentalistik tentang Pemerolehan Bahasa
Teori mentalistik mendeskripsikan, menjelaskan, dan meramalkan bahwa kelakuan belaar berdasarkan pada struktur dan cara kesadaran. Akan tetapi, titik awal dalam teori-teori mentalistik lebih mengarah ke teori bahasa daripada ke teori belajar.  Dalam teori behaviorisme pemerolehan bahasa adalah suatu proses belajar, dalam hal ini stimuli verbal dan nonverbal dari luar membentuk kondisi untuk proses belajar itu. Dalam linguistic Chomsky, tekanan pada kemampuan lahiriah seseorang anak untuk belajar suatu bahasa. Kelakuan bahasa terlalu rumit untuk dapat dijelaskan semata-mata atas dasar faktor-faktor luar yang mempengaruhi seseorang.
Menurut Chomsky (dalam Dardjowidjojo 2010:232) manusia mempunyai faculties of the mind, yaitu semacam “kapling-kapling intelektual” dalam otaknya. Kemampuan lahiriah (kapling-kapling) yang memungkinkan setiap manusia belajar bahasa apapun yang disebut Language Acquisition Device (LAD), yang berarti perlengkapan pemerolehan bahasa atau diterjemahkan menjadi Piranri Pemerolehan Bahasa (PPB) (Dardjowidjojo 2000:19). PPB menerima masukan dari lingkungan di sekitarnya dalam bentuk kalimat yang tidak semuanya apik (well-formed). Titik tolaknya adalah perbedaan antara Struktur Lahir dan Struktur Batin pada kalimat. Kedua struktur tersebut saling berhubungan melalui transformasi. Tiap kalimat mempunyai struktur abstrak di bawah permukannya dan LAD memungkinkan anak menyusun hipotesis tentang struktur bawah bahasa yang diperolehnya. Anak tidak sadar dalam proses ini. Hipotesis-hipotesis yang disusun anak tanpa sadar, kemudian dicoba dalam pemakainnya. Hipotesis-hipotesis itu terus dicoba kebenarannya pada data yang dikumpulkan anak selama ia mendengar  dan berbicara. Oleh karena itu, hipotesis-hipotesis tersebut diubah dan disesuaikan secara terstruktur.
Lama-kelamaan melalui proses di atas berkembanglah sistem kaidah bahasa anak secara sistematis kea rah system kaidah yang dimiliki orang dewasa. Si anak menangkap sejumlah ujaran yang sebagian besar tidak gramatikal. Dari korpus yang tidak berstruktur tersebut, yang masuk sebagai input LAD, dibentuklah tatabahasa sebagai output.
Input bahasa                            LAD                 Output bahasa
(kumpulan ujaran)                                                    (tata bahasa)
Dengan bantuan LAD, seorang anak dapat menemukan struktur batin kalimat-kalimat yang dijumpainya dan kemudian ia dapat membentuk kalimat yang sebelumnya belum pernah dijumpai. Gramatikal yang dibentuk dengan bantuan LAD itu mengandung sifat-sifat khas suatu bahasa tertentu, tetapi di atas itu juga mengandung sifat-sifat universal.

D.  Universal Bahasa
Pelopor universal bahasa seperti Greenberg (dalam Dardjowidjojo 2010:230) meneliti banyak bahasa dan dari bahasa-bahasa itu ia sarikan fitur-fitur mana yang terdapat pada semua bahasa, fitur-fitur mana lagi yang terdapat pada kebanyakan bahasa, dan mana yang hanya pada beberapa bahasa. Dengan demikian, konsep universal bahasa itu tidak mutlak, tapi relatif.
Comrie (dalam Dardjowidjojo 2010:230) membagi universal bahasa menjadi dua kelompok besar yang masing-masing mempunyai juga sub-kelompok.
                                              Non-implikasional
Absolut                      
                                              Implikasional
Universal
                                                 Non-implikasional
                      Tendensius
                                                 Implikasional                       

Bagan: Universal Bahasa

Pada kelompok universal absolut non-implikasional tidak terdapat perkecualian. Misalnya, bahasa mempunyai bunyi vokal /a/, /i/, dan /u/; bahasa manapun menggabungkan bunyi untuk membentuk suku kata. Pada kelompok absolut yang implikasional dikatakan bahwa bila bahasa mempunyai X maka bahasa itu pasti mempunyai Y. Misalnya, bila suatu bahasa mempunyai konsonan hambat velar /k/, maka bahasa itu pasti mempunyai konsonan hambat bilabial /b/; bila suatu bahasa mempunyai bentuk refleks persona pertama/kedua (myself dan yourself), maka bahasa tadi pasti mempunyai refleks persona ketiga (himself).
Pada kelompok universal tendesius non-implikasional terdapat kecenderungan besar untuk bahasa memiliki sesuatu tertentu. Misalnya, hampir semua bahasa memiliki konsonan nasal. Pada kelompok universal tendesius implikasional suatu bahasa memilki X maka kemungkinan besarnya adalah bahwa bahasa itu juga memiliki Y. Misalnya, bahasa yang memiliki urutan SOV (subjek-objek-verba) mungkin sekali memiliki urutan posisi-posisi (bukan preposisi).
Menurut Chomsky (dalam Dardjowidjojo 2010:232) bila suatu entitas mengandung unsur-unsur hakiki tertentu maka unsur-unsur itu pasti ada pada entitas itu dimanapun juga. Chomsky membedakan dua macam universal, yaitu universal subtantif dan universal formal. Universal subtantif berupa unsur atau elemen yang membentuk bahasa. Misalnya, dalam bahasa di mana pun juga mempunyai nomina, verba, dan adjektiva. Sedangkan universal formal berkaitan dengan cara bagaimana universal subtantif itu diatur. Pengaturan elemen-elemen ini berbeda dari satu bahasa ke bahasa lain.
Pada anak lahir, anak telah dikarunia Tatabahasa Universal (TU) atau Universal Grammer (UG). Setiap anak dalam otaknya sudah mempunyai modul atau seperangkat prinsipel yang terlihat sederhana, tetapi menjadi rumit saat berinteraksi dengan prinsipel-prinsipel dan modul-modul yang lain.
a.    Kontroversi antara Nurture dengan Nature
Manusia di mana pun juga pasti akan dapat menguasai atau memperoleh bahasa asalkan dia tumbuh dalam suatu masyarakat. Pemerolehan bahasa tersebut bersifat nurture atau nature. Dalam aliran behaviorisme pemerolehan bahasa bersifat nurture, yaitu pemerolehan bahasa itu ditentukan oleh alam lingkungan. Menurut aliran ini, manusia dilahirkan dengan suatu tabula rasa, yaitu semacam piring kosong tanpa apa pun. Piring ini kemudian diisi oleh alam sekitar termasuk bahasanya. Jadi, pengetahuan apa pun yang kemudian diperoleh oleh manusia itu berasal dari lingkungan.
Dari eksperimen yang dilakukan Skiner menyimpulkan bahwa pemerolehan pengetahuan termasuk pemerolehan pemakaian bahasa didasarkan pada adanya stimulus, kemudian diikuti oleh respon. Bila respon itu benar maka diberi hadiah dan bila salah dihukum. Dari proses pengulangan ini akan menjadi kebiasaan. Menurut Skiner bahasa merupakan seperangkat kebiasaan. Kebiasaan diperoleh dengan cara latihan bertubi-tubi (drills), sehingga sangat penting dalam pengajaran bahasa asing pada metode seperti Oral Approach atau Audiolingual Approach. 
Berbeda dengan Chomsky yang berpandangan bahwa pemerolehan bahasa itu tidak didasarkan pada nurture atau nature. Anak memperoleh kemampuan berbahasa seperti dia memperoleh kemampuan berdiri dan berjalan. Anak tidak dilahirkan sebagai piring kosong, tabula rasa, tetapi dia telah dibekali dengan sebuah alat, yaitu Piranti Pemerolehan Bahasa (PPB) atau LAD. Piranti ini bersifat universal, artinya anak mana pun mempunyai piranti ini. Ini terbukti dengan adanya kesamaan antara satu anak dengan anak yang lain dalam proses pemerolehan bahasa mereka; di mana pun juga anak melewati seperangkat proses yang sama dalam menguasai bahasa mereka masing-masing. Nurture yaitu masukan yang berupa bahasa hanya akan menentukan bahasa mana yang akan diperoleh anak, tetapi prosesnya itu sendiri bersifat kodratif (innate) dan inner-directed. Chomsky menganggap Skiner keliru dalam memahami kodrat bahasa. Bahasa bukan suatu kebiasaan, tetapi suatu sistem yang diatur oleh seperangkat peraturan (rule-governed). Bahasa juga kreatif dan memiliki ketergantungan struktur. Kedua kodrat bahasa ini hanya dapat dimiliki manusia. Jadi, baik nature maupun nurture diperlukan untuk memperoleh bahasa. Nature diperlukan karena tanpa bekal kodrati makhluk tidak mungkin dapat berbahasa. Nurture juga diperlukan karena tanpa adanya input dari alam sekitar bekal yang kodrati itu tidak akan terwujud.

E.  Universal dalam Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa seorang anak berkaitan erat dengan konsep universal. Sejauh mana konsep universal itu mempengaruhi pemerolehan tergantung pada sifat kodrati komponen bahasa.
a.    Universal pada Komponen Fonologi
Roman Jakobson adalah ahli yang mengemukakan adanya universal pada bunyi bahasa manusia dan untuk pemerolehan bunyi-bunyi tersebut. Pemerolehan bunyi berjalan selaras dengan kodrat bunyi itu sendiri. Bunyi pertama yang keluar waktu anak mulai berbicara adalah kontras antara konsonan dan vokal. Dalam hal ini bunyi vokal hanya bunyi /a/, /i/, dan /u/ yang akan keluar terlebih dahulu. Dari ketiga bunyi tersebut, /a/ akan keluar lebih dahulu daripada /i/ atau /u/ karena lebih mudah diucapkan dan ketiga bunyi tersebut membentuk Sistem Vokal Minimal (Minimal Vocalic System): bahasa mana pun di dunia pasti memiliki minimal tiga vocal ini (Jakobson dalam Dardjowidjojo 2010:238). Sedangkan bunyi konsonan kontras pertama yang muncul adalah oposisi antara bunyi oral dengan bunyi nasal (/p-b/ dan /m-n/) dan kemudian disusun oleh kontras antara bilabial dengan dental (/p/ - /t/). Sistem kontras ini disebut Sistem Konsonantal Minimal (Minimal Consonantal System).  
Hubungan antara satu bunyi dengan bunyi yang lain bersifat universal. Jakobson mengajukan Law of Irreversible Solidarity yang isinya sebagai berikut.
1)   Apabila suatu bahasa memiliki konsonan hambat velar, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan hambat dental dan bilabial.
Contoh: Bila bahasa A memiliki bunyi /k/ dan /g/, bahasa tersebut pasti memiliki /t/-/d/ dan /p/-/b/.
2)   Apabila suatu bahasa memiliki konsonan frikatif, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan hambat.
Contoh: Bila bahasa A memiliki /f/ dan /v/, bahasa tersebut pasti memiliki /p/-/b/, /t/-/d/, dan /k/-/g/.
3)   Apabila suatu bahasa memiliki konsonan afrikatif, bahasa tadi pasti memiliki konsonan frikatif dan konsonan hambat.
Contoh: Bila bahasa A memiliki /c/-/j/, bahasa tersebut pasti memiliki /s/, /t/, dan /d/.
Hukum ini meramalkan urutan kesukaran masing-masing bunyi. Pada umumnya bunyi yang letaknya di bagian depan mulut lebih mudah daripada yang di bagian belakang mulut. Dengan demikian, /p/ dan /b/ adalah lebih mudah daripada /k/ dan /g/. Bunyi yang dikuasai oleh anak mengikuti urutan universal di atas. Karena /m/ dan /p/ adalah bilabial dan mudah diucapkan, dan karena /a/ juga mudah maka bunyi tersebut akan keluar lebih awal pada anak. Oleh karena itu, kata awal yang keluar pada anak adalah /papa/ atau /mama/ atau ayah dan ibu (Gass dan Salinker dalam Dardjowidjojo 2010:239).
Urutan pemunculan bunyi ini bersifat genetik dan karena perkembangan biologi manusia itu tidak sama maka kapan munculnya suatu bunyi tidak dapat diukur dengan tahun atau bulan kalender. Suatu bunyi tidak akan melangkahi bunyi yang lain. Tidak akan ada anak Indonesia yang sudah dapat mengucapkan bunyi /r/, tetapi belum bisa mengucapkan /p/, /g/, dan /j/. Bunyi-bunyi itu muncul berbeda dari satu anak ke anak yang lain.
b.   Universal pada Komponen Sintaktik dan Semantik
Komponen sintaktik dan semantik mempunyai derajat keuniversalan yang lebih rendah. Pada komponen fonologi, urutan pemunculan bunyi terkait langsung dengan pertumbuhan biologi dan neurologi anak. Pada komponen sintaktik dan semantik kaitan ini tidak langsung. Pada komponen sintaktik pola-pola kalimat yang diperoleh secara universal. Anak di mana pun juga selalu mulai dengan ujaran yang berupa satu kata, kemudian berkembang menjadi dua kata; setelah itu, tiga kata atau lebih. Anak kalimat relatif yang terletak pada akhir kalimat lebih dulu diperoleh daripada anak kalimat relatif yang diselipkan di tengah kalimat. Komponen semantik lebih labil lagi karena kata macam apa yang dikuasai dan berapa jumlahnya sangat tergantung pada keadaan masing-masing anak.
Namun demikian, ada pula urutan universal yang umumnya diikuti anak. Prinsip yang dinamakan sini dan kini (here and now) tampaknya universal. Artinya bahwa di mana pun juga kosakata yang dikuasai anak pertama-tama adalah kosakata dari objek yang ada di sekelilingnya (=sini) dan yang saat itu ada (=kini). Anak belum bisa membayangkan benda yang tidak ada, atau peristiwa yang sudah atau belum terjadi. Anak juga mengikuti prinsip universal lain yang disebut penggelembungan makna (overextensional).
F.   Rerata Panjang Ujaran
Untuk mengukur perkembangan sintaksis anak menggunakan Mean Length of Utterance (MLU) atau Rerata Panjang Ujaran (RPU) (Dardjowidjojo 2010:241). Cara menghitungnya adalah: 1) ambil sampel sebanyak 100 ujaran, b) hitung jumlah morfemnya, dan 3) bagilah jumlah morfem itu dengan jumlah ujaran. Misalnya, ada 253 morfem, maka RPU=253:100=2,5. Rambu-rambunya adalah misalnya, bentuk komponen (kereta api), verba tak teratur (drank), dan jamak tak teratur (children) dianggap satu morfem. RPU dipakai untuk menentukan tahap pemerolehan: Tahap I=RPU antara 1,0-2,0, sekitar umur 12-26 bulan: Tahap II=RPU antara 2,0-2,5, sekitar umur 27-30 bulan, dst.

G. Bahasa Ibu Versus Bahasa Sang Ibu
Bahasa ibu (native language) adalah bahasa pertama yang dikuasai atau diperoleh anak. Bahasa Inggris untuk anak dan orang Inggris adalah bahasa ibu. Bila ada anak Indonesia lahir dan dibesarkan di London dan dari kecil menggunakan bahasa Inggris, maka bahasa Inggris adalah bahasa ibunya. Sedangkan bahasa sang ibu (motherese, parentese, atau child directed speech) adalah bahasa yang dipakai oleh orang dewasa pada waktu berbicara dengan anak yang sedang dalam proses memperoleh bahasa ibunya. Ciri-ciri khusus bahasa sang ibu adalah: 1) kalimatnya pendek-pendek, 2) nada suara bisanya tinggi, 3) intonasinya agak berlebihan, 4) laju ujaran agak lambat, 5) banyak redundansi (pengulangan), dan 6) banyak memakai kata sapaan.
Pada waktu berbicara dengan anak ternyata bahasa yang digunakan ayah dan ibu berbeda. Ayah umumnya berbicara lebih pendek, lebih banyak memakai kalimat imperative dan direktif, dan banyak meminta penjelasan dari anak. Keadaan seperti ini justru sangat baik untuk anak karena dia lalu sepertinya dipaksa untuk mengekspresikan diri agar ayahnya mengerti apa yang dia katakana. Ayahnya seolah-olah menjadi jembatan untuk berkomunikasi yang lebih jelas. Gejala ini disebut Father Bridge Hypothesys.
H.  Komprehensi dan Produksi
Baik anak maupun dewasa mempunyai dua tingkatan kemampuan yang berbeda dalam berbahasa. Pada orang dewasa jumlah kosakata yang dipakai secara aktif adalah lebih rendah daripada kata-kata yang dapat dimengerti. Pada anak di mana pun juga kemampuan anak untuk memahami apa yang dikatakan orang jauh lebih cepat dan jauh lebih baik daripada produksinya. Sebagian peneliti mengatakan bahwa kemampuan anak dalam komprehensi adalah lima kali lipat dibandingkan dengan produksinya. Pada saat anak memproduksi 10 kata komprehensinya adalah 110 kata (11 kali lipat daripada produksinya). Ketidak-seimbangan antara komprehensi dengan produksi ini tampak pada perilaku bahasa sehari-hari si anak.

I.     Proses Pemerolehan Bahasa
Di mana pun juga anak memperoleh bahasa ibunya dengan strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Pinker (1995) dalam jurnal internasional yang berjudul Language Acquisition menyatakan bahwa children learn languages that are governed by highly subtle and abstract principles, and they do so without explicit instruction or any other environmental clues to the nature of such principles. Maksudnya bahwa anak-anak belajar bahasa secara pelan dan abstrak, dan mereka melakukannya tanpa instruksi eksplisit atau pengaruh lingkungan dengan petunjuk prinsip-prinsip dasar. Jadi, di dalam pemerolehan bahasa selain anak telah dibekali kodrati pada saat dilahirkan juga dipengaruhi oleh faktor keturunan dan lingkungan baik keluarga maupun tempat tinggal.
Di dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Bahasa mana pun dan wujudnya seperti apa ditentukan oleh input dari sekitarnya.
1)   Pemerolehan dalam Bidang Fonologi
Pada umur sekitar 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Proses mengeluarkan bunyi-bunyi ini disebut cooing atau dekutan. Anak mendekutkan bermacam-macam bunyi yang belum jelas identitasnya. Pada sekitar umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan vokal sehingga membentuk babbling atau celotehan (Dardjowidjojo 2010:244). Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti oleh sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. Dengan demikian, strukturnya adalah CV. Ciri lain dari celotehan adalah CV kemudian diulang dengan struktur C1V1C1V1.... papapa mamama bababa .... yang diartikan sebagai kata ayah dan ibu. Konsonan dan vokalnya secara gradual berubah sehingga muncul kata-kata seperti dadi, dida, tita, dita, mama, mami, dst.
Pada anak Barat, kata sudah mulai muncul pada umur sekitar satu tahun, sedangkan anak Indonesia munculnya kata pertama agak terlambat karena anak Indonesia memerlukan waktu yang lebih lama untuk menentukan suku mana yang akan diambil sebagai wakil dari kata itu. Pada bahasa Inggris yang kebanyakan katanya adalah monosilabik, anak tidak harus memilih suku mana. Pada anak Indonesia dengan kosakata kebanyakan polisilabik, anak harus menganalisis lebih dulu barulah dia menentukan suku mana yang akan diambil. Dari kata sepeda, misalnya, mana yang akan diambil: se, pe, atau da. Pada anak Indonesia kebanyakan memilih suku terakhir dan ini merupakan latar belakang yang universal, yaitu bahwa anak di mana pun cenderung untuk memperhatikan akhir dari suatu bentuk (Slobin dalam Dardjowidjojo 2010:245).
Pemunculan bunyi mempunyai urutan yang universal. Anak mula-mula menguasai bunyi konsonan bilabial dengan vokal /a/, kemudian alveolar dan velar. Bunyi afrikatif /tZ/ dan /dZ/ dikuasai lebih belakangan lagi, sekitar umur empat tahun. Patokan tahun ini sangat relatif. Ukuran tidak boleh tahun kalender, tetapi harus tahun neurobiologis, artinya pada tahap perkembangan neurobiologi mana seorang anak dapat mengucapkan bunyi-bunyi tertentu.
2)   Pemerolehan dalam Bidang Sintaksis
Tesis yang berjudul Pemerolehan Bahasa Anak Usia 2-3 Tahun yang ditulis oleh Subyantoro (2011) menunjukkan bahwa perkembangan sintaksis anak memang dimulai dari tahap yang sederhana (satu suku/kata) ke tahap yang lebih sukar (dua suku/kata atau lebih). Unsur ini ada, derajatnya jauh di bawah komponen sintaksis, apalagi komponen fonologi adalah sistem bunyi suatu bahasa.
Dalam bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian kata). Kata ini, bagi anak sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi karena ia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata, dia hanya mengambil satu kata dari seluruh kalimat itu disebut Ujaran Satu Kata (USK) atau One Word Utterance. Anak tidak sembarang saja memilih kata itu; dia akan memilih kata yang memberikan informasi baru. Anak sudah mempunyai pengetahuan tentang informasi lama versus informasi baru. Kalimat diucapkan untuk memberikan informasi baru kepada pendengarnya.
Ciri-ciri USK, yaitu: 1) dari segi sintaktiknya, USK sangatlah sederhana karena memnag hanya terdiri dari satu kata saja; bahkan untuk bahasa seperti bahasa Indonesia hanya sebagian saja dari kata itu. Namun dari segi semantiknya, USK adalah kompleks karena satu kata itu bisa memiliki lebih dari satu makna. Anak yang mengatakan /bi/ untuk mobil bisa bermaksud mengatakan:
-          Ma, itu mobil.
-          Ma, ayo kita ke mobil.
-          Papa ada di mobil, dsb.
Ujaran satu kata yang mempunyai berbagai makna disebut holofrastik (holophrastic). 2) Pada awalnya USK terdiri dari CV saja. Bila kata itu CVC maka C yang kedua dilesapkan. 3) Pada awal USK tidak ada gugus konsonan. Semua gugus yang ada di awal atau di akhir kalimat disederhanakan menjadi satu konsonan saja. 4) Kata-kata yang dipakai hanyalah kata-kata dari kategori sintaktik utama (content words), yaitu nomina, verba, adjektiva, dan adverbia. Tidak ada kata fugsi seperti from, to, dari, atau ke. 5) Kata-kata yang digunakan selalu dari kategori sini dan kini. Tidak ada yang merujuk kepada yang tidak ada di sekitar atau pun ke masa lalu dan masa depan.
Sekitar umur 2;0 anak mulai mengeluarkan Ujaran Dua Kata (UDK) atau Two Word Utterance. Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu terpisah. Jeda ini makin lama makin pendek sehingga menjadi ujaran yang normal. Adapaun ciri-ciri UDK, yaitu: 1) orang dewasa dapat lebih bisa menerka apa yang dimaksud oleh anak karena cakupan makna menjadi lebih terbatas, 2) UDK sitaksisnya lebih kompleks karena ada dua kata, tetapi semantiknya makin lebih jelas, 3) kata-kata yang digunakan dari kategori utama: nomina, verba, adjektiva, dan adverbial, 4) belum ada kata fungsi seperti di, yang, dan, dsb., dan 5) belum ditemukan afiks macam apa pun. UDK disebut sebagai telegrafik (telegraphic speech). Dalam UDK anak ternyata sudah menguasai hubungan kasus (case relations), anak juga sudah menguasai hubungan kasus antara perbuatan dengan objek (action-object relation), hubungan kasus pelaku-objek, dan hubungan kasus pelaku-perbuatan. Meskipun pada UDK semantiknya semakin jelas, makna yang dimaksud anak masih tetap harus diterka sesuai dengan konteksnya.
Pada tahap ini anak juga sudah dapat menyatakan bentuk negatif. Pada bahasa Inggris anak mulai dengan negatif no. Pada anak Indonesia bentuk negatif meliputi kata: bukan, belum, dan tidak. Pemerolehan bentuk negatif bukan secara dini mungkin dipengaruhi oleh konsep sini dan kini yang membuat nomina lebih dominan daripada kategori yang lain, sehingga kata bukan merupakan negasi antara dua nomina. Munculnya bentuk negasi ini mula-mula sebagai respon terhadap pertanyaan. Negasi belum tampaknya juga berkaitan dengan konsep sini dan kini karena verbal adalah kategori kedua setelah nomina. Kata negatif ndak atau nggak juga muncul hampir bersamaan dengan belum karena alasan yang sama. Setelah UDK tidak ada ujaran tiga kata yang merupakan tahap khusus. Pada umumnya, pada saat anak mulai memakai UDK, dia juga masih memakai USK. Setelah beberapa lama UDK dia juga mulai mengeluarkan ujaran tiga kata atau bahkan lebih. Jadi, antara satu jumlah kata dengan jumlah kata yang lain bukan merupakan tahap yang terputus.
(a)     Bentuk Tatabahasa pada Anak
Dalam penelitian Santoso yang berjudul Pemerolehan Bahasa Anak Usia Tiga Tahun dalam Lingkungan Keluarga diketahui bahwa (1) berdasarkan panjang ayat anak usia tiga tahun dalam bertutur pada umumnya mengucapkan kata-kata secara terpenggal dan penguasaan bahasa yang dikuasai anak diperoleh melalui tahapan-tahapan tertentu, (2) anak umur tiga tahun sudah mampu menyusun kalimat dalam bertutur meskipun masih sangat sederhana dan terbatas, dan (3) berdasarkan jumlah ujaran setiap giliran tutur dibuktikan anak tiga tahun dalam bertutur hanya menjawab pertanyaan dari lawan tutur. Jadi, dalam pemerolehan bahasa anak tidak serta-merta langsung dapat berbicara, tetapi melalui tahap-tahap tertentu dari sederhana (urutan satu suku kata) ke yang rumit (lebih dari dua kata).
Penelitian Martin Braine pada tahun 1963 (dalam Dardjowidjojo 2010:250) menyimpulkan bahwa urutan dua kata yang dipakai anak ternyata mengikuti aturan tertentu. Kata-kata tertentu selalu berada pada tempat tertentu pula dan ada kata-kata yang tidak pernah muncul sendirian. Anak-anak yang diteliti membagi dua kelompok kata: (1) kata-kata yang sering muncul, yang tidak pernah sendirian, dan muncul pada posisi tertentu disebut pivot karena ujaran anak berkisar pada kata-kata lain, dan (2) kata-kata yang jumlahnya lebih besar, yang munculnya tida sesering seperti yang ada pada (1), posisinya juga di mana saja, dan bisa muncul sendirian disebut open.
Anak tampaknya telah merumuskan tatabahasa yang berbunyi kira-kira seperti: “Sebuah kalimat terdiri dari (1) pivot tipe 1 yang diikuti oleh kelompok kata terbuka atau (2) kelompok kata terbuka yang diikuti oleh pivot tipe 2” (Aitchison dalam Dardjowidjojo 2010:251). Tatabahasa ini disebut Pivot Grammar. Dua kata dari kelompok terbuka bukanlah dua sembarang kata, tetapi dua kata yang mengikuti aturan tertentu.
Pada bahasa seperti bahasa Indonesia, di mana bentuk pasif sangat dominan, anak sering mendapat masukan yang berupa kalimat pasif dan karenanya membentuk pula pola kalimat pasif jauh lebih awal daripada anak Inggris. Anak Inggris rata-rata baru dapat memakai kalimat pasif pada umur 4;0. Parameter pada tatabahasa universal memang mengatur ‘tombol-tombol’ mana yang akan menyala, tetapi parameter juga mempunyai default setting, yaitu suatu titik tolak yang akan dipakai sebagai langkah dari pemerolehan. Anak mengikuti pola universal pada aspek-aspek gramatikal yang lain. Hal lain yang dianggap universal adalah pemerolehan sufiks yang selalu terjadi lebih awal daripada prefiks dan pemerolehan adjektiva tertentu. Ajektiva yang mempunyai dimensi umum dikuasai lebih awal daripada adjektiva yang dimensinya khusus.
Urutan pemerolehan juga tampak pada pemerolehan kalimat interogatif. Kalimat interogatif ya/tidak dikuasai lebih awal daripada kalimat interogatif apa/mana. Kalimat interogatif yang menanyakan apa atau siapa dikuasai lebih awal daripada yang menanyakan mengapa dan bagaimana karena apa dan siapa merujuk ke benda kongkret sedangkan mengapa dan bagaiman lebih abstrak dan memerlukan daya kognisi yang lebih matang.
Untuk kalimat negatif ada pula urutan yang diikuti oleh anak. Untuk bahasa Ingris, anak mulai dengan menempatkan kata no di paling awal ujaran. Untuk anak Indonesia kalimat negative berkisar pada pemilihan bentuk mana yang harus dipakai; bukan, belum, atau enggak/ndak/tidak. Menjelang umur 4;0 anak sudah mulai memkai kalimat komplek. Pada anak Inggris kalimat koordinatif dikuasai lebih awal daripada kalimat sub-ordinatif. Pada kalimat kompleks anak mengikuti Minimal Distance Principle (MDP), suatu prinsipel yang dikembangkan oleh Chomsky (1969). MDP mengatakan bahwa nomina yang paling dekat dengan verba pada anak kalimat komplemen adalah subjek dari verba kalimat komplemen tersebut.
3)   Pemerolehan pada Bidang Leksikon
Sebelum anak dapat mengucapkan kata, dia memakai cara lain untuk berkomunikasi; dia memakai tangis dan gesture (gesture), gerakan tangan, kaki, mulut, mata, dsb). Pada awal hidupnya anak memakai pula gestur seperti senyum dan juluran tangan untuk meminta sesuatu. Dengan cara-cara ini anak sebenarnya memakai “kalimat” yang protodeklaratif dan protoimperatif (Gleason dan Ratner dalam Dardjowidjojo 2010:258).
Menurut Dromi (1987:15) untuk suatu bentuk dapat dianggap telah dikuasai anak maka bentuk itu harus memiliki: (1) kemiripan fonetik dengan bentuk kata orang dewasa, dan (2) korelasi yang ajeg antara bentuk dengan referen atau maknanya. Anak Indonesia mengalami terlamat dalam berujar karena harus menganalisis secara mental terlebih dahulu dari dua, tiga, atau empat suku kata itu mana yang akan diambil. Ternyata yang diambil adalah suku  kata terakhir.
(a)     Macam Kata yang Dikuasai
Macam kata yang dikuasai anak mengikuti prinsip sini dan kini. Dengan demikian kata-kata yang diperoleh anak pada awal ujarannya ditetukan oleh ligkungannya. Dari macam kata yang ada, yaitu kata utama dan kata fungsi, anak lebih menguasai kata utama (nomina, verba, dan adjektiva) dulu.
Kata mempunyai jalur hierarki semantik. Dalam hal pemerolehan kata, anak tidak akan memperoleh kata yang hierarkinya terlalu tinggi atau terlalu rendah. Anak akan mengambil apa yang disebut basic level category, yaitu suatu kategori dasar yang tidak terlalu tinggi, tetapi juga tidak terlalu rendah. Inputnya adalah bahasa sang ibu yang mengikuti prinsip ini.
(b)     Cara Anak Menentukan Makna
Dari masukan kata yang ada, anak harus menganalisis segala macam fiturnya sehingga makna yang diperolehnya itu akhirnya sama dengan makna yang dipakai oleh orang dewasa. Dalam hal penentuan makna suatu kata, anak mengikuti prinsip-prinsip universal, salah satunya adalah overextension (pengelembungna makna). Artinya, anak cenderung untuk mengambl salah satu fitur dari konsep itu, lalu menerapkannya pada konsep lain yang memiliki fitur tersebut. Di samping bentuk, ukuran juga bisa menjadi fitur yang diambil anak. Oleh karena itu, penggelembungan makna dapat berdasarkan bentuk, ukuran, gerakan, bunyi, dan tekstur (texture). Selain overextension (pengelembungna makna), anak juga memakai underextension (penciutan makna), yaitu membatasi makna hanya pada referen yang telah dirujuk sebelumnya.
(c)      Cara Anak Menguasai Makna Kata
Anak tidak menguasai makna kata secara sembarang, tetapi dengan strategi. Strategi-strategi tersebut antara lain sebagai berikut.
§  Strategi referensi, yaitu dengan menganggap bahwa kata pastilah merujuk pada benda, perbuatan, proses, atau atribut. Dengan strategi ini anak yang baru mendengar suatu kata baru akan menempelkan makna kata itu pada salah satu dari refernsi di atas.
Contoh: jika anak diperkenalkan kata cabe, anak akan meletakkan makna kata itu pada benda yang dirujuk dengan nama itu.
§  Strategi cakupan objek (object scope), yaitu kata yang merujuk pada suatu objek merujuk pada objek itu secara keseluruhan, tidak hanya sebagian dari objek itu saja.
Contoh: jika anak diperkenalkan kepada objek sepeda maka keseluruhan dari sepeda itu yang dikusainya bukan hanya roda atau rantaninya saja.
§  Strategi peluasan (extendability), yaitu kata tidak hanya merujuk pada objek aslinya saja, tetapi juga pada objek-objek lain dalam kelompok yang sama itu.
Contoh: jika anak diperkenalkan dengan kucing berbulu hitam, maka dia akan tahu kucing yang berbulu putih juga disebut kucing.
§  Strategi cakupan kategorial (categorical scope), yaitu kata dapat diperluas pemakainnya untuk objek-objek yang termasuk dalam kategori dasar yang sama.
Contoh: jika anak diperkenalkan dengan merpati sebagai burung, dan jika melihat beo anak akan tahu bahwa beo juga termasuk burung.
§  Strategi nama baru-kategori tak bernama (novel name-nameless category), yaitu anak yang mendengar kata dan setelah dicari dalam leksikon mental dia ternyata kata ini tidak ada rujukannya, maka kata ini akan dianggap kata baru dan maknanya ditempelkan pada objek, perbuatan, atau atribut yang dirujuk oleh kata itu.
Contoh: ketika anak mendengar kata kancing dia akan mencari dalam leksikon mental dia apa rujukan dari kata itu, dan ternyata rujukan itu belum ada maka anak akan menggap kata itu kata baru dan menempelkan maknanya pada benda kancing itu. Strategi ini yang membuat anak cepat sekali dalam menambah kosa katanya sejak umur 1;8.
§  Strategi konvensionalitas (conventionality), yakni pembicara memakai kata-kata yang tidak terlalu umum, tetapi juga tidak terlalu khusus.
Contoh: kata merpati diajarkan sebagai bagian dari burung, dan kata burung merupakan bagian dari binantang.
Dalam penguasaan makna kata anak menghadapi banyak kendala karena kata memiliki derajat kesukaran yang berbeda-beda. Pada umunya, kata-kata yang kongkrit lebih mudah dipahami daripada yang abstrak dan karenanya lebih mudah dan lebih cepat diperoleh anak. Pemerolehan kata pada anak sangat dibantu oleh konteks di mana kata itu dipakai. Dari konteks ini anak dapat pula mengetahui apakah suatu kata itu nomina, verba, adjektiva, atau apa. Namun dalam usaha untuk menentukan kategori sintaktik suatu kata, anak sering “menciptakan” kata sendiri berdasarkan pertimbangan yang menurut anak logis.
4)   Pemerolehan dalam Bidang Pragmatik
Pragmatik adalah studi tentang penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan orang lain dalam masyarakat yang sama (Ninio dan Snow dalam Dardjowidjojo:264). Pragmatik bukan merupakan komponen keempat (di samping fonologi, sintaksis, dan leksikon) pada bahasa, tetapi memberikan perspektif yang berbeda mengenai bahasa.
Dalam bahasa Indonesia pronominal orang kedua mampunyai banyak bentuk: kamu, engkau, saudara, anda, bapak, ibu, dsb. Pemakaian pronominal diatur oleh aturan sosial yang tidak sederhana. Sebaliknya, pronominal Inggris you dapat dipakai untuk siapa dan kapan pun juga. Karena prgamatik merupakan bagian dari perilaku berbahasa maka penelitian mengenai pemerolehan bahasa perlu pula mengamati bagaimana anak mengembangkan kemampuan pragmatiknya.
(a)     Pemerolehan Niat Komunikatif
Dari minggu-minggu pertama sesudah lahir, anak mulai menunjukkan niat komunikatifnya dengan antara lain tersenyum, menoleh bila dipanggil, menggapai bila diberi sesuatu, dan memberikan sesuatu kepada orang lain. Semua itu ditentukan pada saat pra-vokalisasi atau protodeklaratif dan proto-imperatif. Setelah perkembangan biologisnya memungkinkan, anak mulai mewujudkan niat komunikatifnya dalam bentuk bunyi. Dari penelitian Nino Snow diketahui bahwa arah ujaran awal-awal adalah ke diri anak, artinya, semua ujaran yang dikelaurkan diarahkan untuk kepentingan dia sendiri, bukan untuk orang lain. Karena itulah pada awal hidupnya anak kelihatan egois dan egosentris.
(b)     Pemerolehan Kemampuan Percakapan
Pengembangan kemampuan percakapan, anak juga secara bertahap menguasai aturan-aturan yang ada. Struktur percakapan terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1) pembukaan, (2) giliran, dan (3) penutup. Secara naluri anak akan tahu kapan pembukaan percakapan itu terjadi. Aturan main dalam batang tubuh percakapan juga dikuasainya secara gradual. Dari penelitian Pan dan Snow didapati bahwa umur 1;8 anak hanya menangapi sekitar 33% dari apa yang ditanyakan oleh orangtuanya. Prosentase ini naik menjadi 56,7% pada umur 2;5-3;0. Begitu pula relevansiny; hanya sekitar 19% dari tanggapan anak yang relevan dengan topik yang sedang dibicarakan (Owens dalam Dardjowidjojo:267).
5)   Pengembangan Piranti Wacana
Pada anak pada umumnya wacana berbentuk percakapan antara anak dan orang dewasa atau dengan anak lain. Percakapan ini dapat berjalan cukup lancar karena interlocutor anak adalah orang-orang dekat yang umumnya memberikan dukungan kalimat-kalimat penyambung (habis itu, ke mana si Kancil pergi?), dan yang dibicarakan adalah hal-hal yang dikenal anak. Sedangkan pada percakapan antar orang dewasa dukungan kalimat penyambung ini tidak ada. Akan kedengaran aneh kalau antar orang dewasa ada kalimat seperti ini Pak, habis itu, ke mana si Arif, pergi Pak? Percakapan antar orang dewasa didasarkan pada asumsi akan adanya pengetahuan tertentu pada si interlokutor sehingga informasi sudah dapat dipilah-pilah menjadi mana yang lama dan mana yang baru. Asumsi ini belum dapat diterapkan pada anak.
6)   Waktu Pemerolehan Bahasa Dimulai
Berbahasa mencakup komperhensi maupun produksi maka sebenarnya anak sudah mulai berbahasa sebelum dia dilahirkan. Melalui saluran intrauterine anak telah terekspos pada bahasa manusia waktu di dalam janin (Kent dan Miolo Dardjowidjojo:268). Kata-kata dari ibunya tiap hari dia dengar dan secara biologis kata-kata itu masuk ke janin. Kata-kata ibunya ini tertanam pada janin anak, sehingga anak selalu lebih dekat dengan ibunya daripada ayahnya. Dengan memakai alat High Amplitude Sucking Paradigm (HASP) anak umur di bawah tiga bulan ternyata sudah dapat membedakan VOT. Pengukuran detak jantung yang bertambah atau menurun waktu diperdengarkan bunyi-bunyi tertentu.

J.        Implementasi dalam Kehidupan Sehari-Hari
Pemerolehan bahasa pada anak dipengaruhi banyak faktor, baik faktor keturunan maupun lingkungan. Dalam kehidupan sehari-hari orang tua sering tidak sadar terhadap perkembangan bahasa anaknya. Bahasa anak berkembang pesat diusia balita atau dalam usia emas anak. Anak akan dengan gampang belajar berbicara dan memperoleh kosakata, misalnya dengan diajari secara langsung oleh orangtuanya, dengan menyimak ujaran-ujaran orang dewasa,  dengan belajar berbicara sendiri atau dengan mainan, berbicara dengan teman sebayanya, dan lain-lain. Setiap anak mempunyai cara dan kemampuan yang berbeda dalam pemerolehan bahasanya. Umur si anak dalam pemerolehan bahasa tidak menjadi ukuran pasti. Misalnya, si A sudah dapat mengucapakan kata-kata sukar yang terdiri dari lebih dari dua suku kata atau kata-kata yang mempunyai bunyi huruf /r/ pada usia 3,5 tahun, tetapi si B baru bisa mengucapkannya pada usia 4 tahun. Perbedaan tersebut kadang dibanding-bandingkan oleh orangtua sehingga cenderung memaksakan kehendak pada anaknya agar anak tersebut secepatnya bisa berbicara tanpa memahami kemampuan dan kondisi anaknya.

K.      Penutup

Sebagai orangtua hendakanya harus sabar dan telaten dalam mengajari anak belajar bahasa. Orangtua tidak boleh memaksa si anak agar cepat bisa karena pada dasarnya anak sudah dibekali kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa anak melalui tahap-tahap tertentu, sehingga orangtua juga hendanya selalu mendampingi anak dalam tahap-tahap pemerolehan bahasa tersebut. Anak usia balita atau dalam masa emas akan memperoleh bahasa dengan cepat dan tidak disadari oleh orangtuanya. Setiap hari anak memperoleh pemahaman dan kosakata baru sehingga semakin lama kosakata yang diperoleh semakin banyak. Selain itu, semakin matang organ ucapa anak semakin jelas dan benar kata yang diujarkan. Pemerolehan bahasa anak ini dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: (1) orangtua dan keluarga, (2) lingkungan baik tempat tinggal maupun pendidikan, dan (3) kemampuan idividu si anak.

Populer di BACA